Pelajaran Berharga dari Matematika Pernikahan

Beberapa hari yang lalu, saya menonton film pendek yang sangat lucu tentang 2+2 = 22 (Anda juga bisa menyaksikannya di bawah artikel ini). Dalam film ini diceritakan adanya seorang guru senior yang sedang berusaha menjelaskan dengan lemah lembut kepada seorang anak SD bahwa 2+2 = 4. Karena anak ini seorang free thinkersia menolak ajaran gurunya yang baik hati tersebut dan kekeuh bahwa 2+2 = 22.

Baca juga: Mengapa Konseling Pernikahan Gagal?

Film ini sangat lucu karena menantang pemikiran bahwa segala kebenaran itu bersifat relatif. Ternyata di dunia ini ada hal yang sepasti matematika, yang menjadi dasar segala teknologi yang kita gunakan sekarang.

Namun kita tidak sedang bicara matematika, sains, atau filsafat di sini. Saya ingin membahas apa yang saya sebut dengan matematikan pernikahan.

Dalam matematika pernikahan, penjumlahan 1+1 memang hasilnya bisa relatif, tidak selalu =2.

Dalam matematika pernikahan, 1+1 akan sama dengan 2 apabila dilihat dari sudut pandang 1 pria menikahi 1 wanita = 2 orang.

Tetapi 1+1 bisa jadi sama dengan 4 dari sudut pandang yang sama, apabila 1 pria menikahi 1 wanita, yang kemudian melahirkan 2 orang anak. Sehingga 1+1 = 4.

Tetapi bisa jadi 1+1 = 1, apabila dalam keluarga yang baru, hanya satu orang yang berjuang untuk keluarga tersebut. Contohnya adalah suami-suami yang tidak memperdulikan keluarganya, tidak memberi nafkah atau hanya ongkang-ongkang kaki menerima uang jajan dari istri, sambil ia juga tidak mau mengurusi anak dan rumah tangga.

Supaya adil, perlu disebutkan juga 1+1 = 1 juga dapat terjadi pada keluarga dengan istri yang berselingkuh dan melarikan diri dari tanggung jawabnya di rumah. Nafkah yang diterimanya dari suami bahkan digunakan untuk membiayai selingkuhannya.

Ada juga yang 1+1=0, yaitu pada pasangan-pasangan yang karena tidak mampu mengatasi berbagai permasalahan dan perbedaan yang ada, sehingga keduanya saling meniadakan dengan perselisihan, keributan, percekcokan, yang sangat memakan tenaga, waktu dan biaya sehingga keduanya tidak sampe ke mana-mana. Akhirnya entah kedua pihak masing-masing membangun tembok, memasuki era pernikahan tanpa cinta (loveless marriage), atau lebih parah lagi… bercerai.

Seyogyanya pernikahan yang baik itu 1+1 = 10, yaitu apabila kedua pihak berkomitmen saling mencintai dan menjadi sohib, partner dalam membangun bahtera kehidupan bersama menuju visi yang sama, sehingga mereka akhirnya mampu mengerjakan berbagai hal-hal yang tidak mampu dikerjakan seorang diri. Maka keduanya kemudian menjadi penuh (10).

Bagaimana agar 1+1 bisa menjadi 10?

1. 1+1 akan menjadi 10 saat keduanya mau melebur (menjadi 0) dan menyatu (menjadi 1). Karena dalam pernikahan bukan “aku” atau “kamu” lagi, melainkan menjadi “kita”. Dalam “kita”, masih ada diri pria dan wanita. Masih ada hobi-hobi maupun waktu pribadi, tetapi visi, nilai dan keputusan-keputusan adalah visi, nilai dan keputusan “kita”.

2. 1+1 akan menjadi 10 saat keduanya menyadari bahwa kekuatan diri mereka sendiri adalah 0 dan membutuhkan kekuatan dari tempat yang Maha Tinggi yaitu Sang Esa (1) untuk bisa bertahan dalam membangun bahtera pernikahan.

penelitian tentang pernikahan

Adalah hal yang sangat menarik ketika saya mengambil data penelitian dari lebih dari 500 orang di seluruh Indonesia (penelitian ini dibantu oleh Dra. Rianti Setiadi, M.Si. – ahli matematika dari UI), saya menemukan bahwa ketaatan pada agama adalah faktor yang paling mempengaruhi kebahagiaan dalam rumah tangga.

Karena itu, bersama pasangan Anda, jadilah “kita” bukan lagi “aku” maupun “kamu”, tetapi jangan lupakan “Esa” sehingga Matematika Pernikahan Anda menjadi sempurna, 1+1 = 10

Saya Deny Hen, Salam Pembelajar!

 

 

Bagaimana pendapat Anda?