
Penelitian mengenai relasi pasutri menunjukkan bahwa komunikasi adalah inti dari suatu hubungan yang sehat. Rasanya tidak perlu sekolah psikologi untuk menyadari akan hal ini. Namun bagaimana sebenarnya ciri-ciri komunikasi yang sehat itu? Riset dari David Olson, profesor terkemuka dalam ilmu pernikahan dan keluarga dari University of Minnesota menemukan ada enam ciri komunikasi keluarga yang sehat, yaitu:
- Kemampuan menyimak
- Kemampuan berbicara
- Membuka diri
- Jelas
- Tetap dalam topik
- Menghormati dan menghargai
Baca juga: Menyelesaikan Kebuntuan dalam Konflik Rumah Tangga
Kemampuan Menyimak
Setiap orang yang mempunyai organ telinga yang lengkap tentu dapat mendengar (hear), tetapi apakah ia mampu menyimak (listen)? Walaupun terdengar tidak umum, tetapi istilah yang lebih tepat dalam kemampuan mendengar adalah kemampuan untuk menyimak. Ini berarti mampu mendengarkan, menyimaknya, kemudian memahami perkataan dan perasaan lawan bicara, menyelami isi hatinya dan kemudian memberikan respon yang tepat. Respon yang tepat ini menunjukkan bahwa pendengar memang benar menyimak, memahami dan mengerti perasaan pasangan.
Respon yang tepat yang dimaksud antara lain: tidak memberikan saran yang tidak diharapkan, tidak memotong pembicaraan, menganggukkan kepala atau mengulangi perkataan saat dibutuhkan dan juga kemampuan untuk bertanya. Bertanya membuat pasangan bicara merasa kita antusias ingin tahu mengenai dirinya. Hal ini memberikan sinyal bahwa ia adalah seseorang yang penting.
Kemampuan Berbicara
Paralel dengan kemampuan mendengar/menyimak adalah kemampuan berbicara. Kemampuan berbicara yang sehat adalah kemampuan berbicara untuk dirinya sendiri bukan untuk pasangannya.
Misalnya:
BICARA SEHAT: “Aku tadi nunggu kami di mall lama sekali, kamu nggak datang-datang, jadi aku naik taksi pulang ke rumah”
BICARA TIDAK SEHAT: “Kamu nggak datang-datang sih, nggak tau kamu ke mana aja, nggak care sama istrinya ya, aku ini nggak penting bagi kamu! Ya udah aku nggak mau tunggu kamu lagi, naik taksi aku.”
Isi pesan yang sama, tapi karena yang pertama istri bicara untuk dirinya sendiri “aku”, sedangkan yang kedua istri bicara untuk suaminya “kamu” maka hasilnya akan jauh berbeda.
Bicara yang sehat adalah jika kita membiasakan memulai kalimat dengan “aku” bukan dengan “kamu”. Ini yang sering disebut dengan “I statement”.
Membuka Diri
Ciri komunikasi yang sehat ketiga adalah membuka diri. Ini bicara tentang apakah kita mampu membagi perasaan dan ide-ide secara terbuka kepada pasangan kita? Apakah kita tidak menyampaikannya karena takut dimarahi atau takut ditertawakan? Terkadang ketakutan itu tidak selalu berasal dari perlakuan pasangan sebelumnya, tetapi bisa juga dari sesuatu yang kita pelajari dari kehidupan kita di masa lalu waktu kita dibesarkan oleh orang tua kita. Kita yang dibesarkan oleh orang tua yang kurang terbuka dengan ide dan pendapat yang berbeda dengan mereka, atau orang tua yang tidak mau mendengarkan anaknya akan rentan menyembunyikan perasaan dan pendapat dari pasangan. Karena itulah cara yang diketahuinya untuk tetap damai dan tidak terluka. Tapi dalam hubungan pernikahan (sebenarnya juga dalam keluarga inti), komunikasi yang sehat adalah yang mampu membuka diri apa adanya.
Hal lain yang termasuk dalam kemampuan membuka diri ini adalah sikap transparan kepada pasangan. Ini artinya tidak mencoba menyembunyikan apa-apa dari pasangan. Biasa menceritakan apa-apa yang dialami, ditemukan dan dirasakan itu adalah sangat sehat dalam suatu hubungan pasutri yang sehat. Saling cerita membangun peta cinta yang detail, akurat dan up-to-date dengan pasangan. Tentang peta cinta, silakan simak artikel berikut ini: 7 Cara Membangun Keintiman dan Peta Cinta. Sebaliknya tidak transparan menunjukkan ketidakpercayaan kepada pasangan. Jika ketidaktransparannya ketahuan sama pasangan, pasangannya akan merasa diperlakukan seperti orang lain dan merasa terluka karenanya.
Jelas
Komunikasi yang sehat adalah komunikasi yang jelas. Pesan yang disampaikan jelas, konsisten, dan tidak ambigu (multitafsir). Termasuk dalam hal ini adalah waktu pasangan mendengar pesan tersebut, ia tidak harus berupaya keras menafsirkan apa maksud pasangannya.
Contoh:
- Aku malas pergi nonton sama kamu (padahal maksudnya: aku mau tapi jangan bawa adikmu).
- Tolong ambilin obat buat saya (padahal maksudnya: aku sakit, tolong tanya dong ‘kamu sakit apa?’)
- Ambilin cucian! Jemurin pakaian! cuciin piring! (padahal maksudnya: aku sakit, kamu kok tidak perhatian padaku?)
Saya seringkali meminta kepada klien agar kalau berantem jangan melalui pesan WA. Kenapa? Karena komunikasi WA itu sangat terbatas, kita hanya membaca ketikan pasangan kita, tanpa melihat raut wajah, gerakan tubuh, eye contact, sehingga kita menafsirkan pesan WA itu berdasarkan pikiran, asumsi dan mood kita sendiri. Waktu saya mengetikkan kata-kata ini: “Superman!” tentu pembaca tidak tahu apakah saya sedang memuji pembaca, orang lain, sedang bicara tentang tokoh komik superhero, ataukah saya sedang menyindir seseorang yang punya superhero syndrome (atau savior complex). Jadi kalau lagi berantem, tentu mood lagi jelek, apa pun yang kita baca bisa kita tafsirkan sebagai permusuhan, padahal bisa jadi pasangan sudah di tahap memahami dan mau berbaikan.
Tetap dalam Topik
Komunikasi yang sehat juga tidak bicara berpindah-pindah topik, khususnya dalam menyelesaikan konflik dan masalah. Bicara yang pindah-pindah topik menyulitkan problem solving, dan juga menyulitkan rekonsiliasi. Terkadang karena kesal, suami atau istri bisa mengungkit hal-hal di masa lalu, walau ada kaitannya namun kalau itu terus terjadi, masalah itu akan terlihat menjadi sangat rumit dan tidak bisa diselesaikan. Pasangan bisa merasa frustasi karena seakan-akan semua adalah kesalahannya. Konflik yang sehat bicara tentang satu masalah dan tetap di sana untuk menyelesaikan masalahnya.
Menghormati dan Menghargai
Komunikasi pasangan seharusnya dilakukan dengan itikad baik artinya memandang pasangan sebagai seseorang yang penting, berarti bagi saya dan seseorang yang saya cintai. Ini akan membuat komunikasi itu terasa hangat dan tetap positif. Inilah respek dan penghargaan dalam komunikasi.
Kita tidak menggunakan kata-kata yang kasar, yang meremehkan, menyindir atau melukai pasangan. Kita juga tidak menggurui atau menyudutkan pasangan. Kita berbicara dengan suara yang lembut, terkontrol, tidak dengan nada tinggi, suara keras ataupun terburu-buru.
Mark Manson yang terkenal dengan bukunya “The Subtle Art of Not Giving a F*ck” atau dalam bahasa Indonesia “Seni untuk Bersikap Bodo Amat” menanyakan pembaca blognya “apa rahasia memiliki pernikahan di atas 20 tahun dan tetap bahagia?”
Dari 1500 email yang diterima, kebanyakan menjawab respek adalah kuncinya. Dan apa itu respek menurut para pembaca tersebut?
- Jangan pernah mengatakan hal buruk tentang pasangan Anda kepada teman-teman.
- Hormati kenyataan bahwa pasangan Anda mungkin memiliki hobi dan prinsip yang berbeda dengan Anda.
- Hormati kenyataan bahwa Anda dan pasangan berada dalam tim yang sama, perahu yang sama.
- No secret. Tidak menyimpan rahasia.
(ulasan lengkapnya saya tuliskan di buku saya “The Great Marriage” dapat dibeli di Gramedia, Google Playbook, Amazon atau langsung kepada kami di Pembelajar Hidup)
Itulah 6 ciri komunikasi keluarga yang sehat dan efektif. Akhir kata saya ingin menyampaikan fakta penting berikut ini:
“Saat kita mendengar, pasangan akan berbicara kepada kita, tetapi saat kita menutup telinga, pasangan akan berbicara kepada orang lain.”
Saya Deny Hen, salam Pembelajar!

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.