Dalam buku saya “10 Checklist Persiapan Diri untuk Menikah“, kemandirian adalah salah satu checklist yang menunjukkan kita sudah siap untuk menikah.
Menikah itu keluar dari keluarga asal dengan segala kenyamannya, dan mengambil resiko untuk hidup bersama orang yang dicintainya, dengan segala permasalahan di keluarga inti yang baru mereka. Ini berarti masalah finansial Anda haruslah pasangan suami-istri tersebut sendiri yang memecahkan, jangan sampai setelah menikah masih terus dibiayai oleh orang tua.
Dalam hal ini, tugas berat untuk bisa menghidupi keluarganya ada di pundak pria.
Baca juga: Kesal Karena Suami Diam-Diam Memberikan Uang pada Orang Tuanya
Mengapa demikian? Karena secara natural, siapa pun yang membiayai keluarga akan memiliki kuasa (persis seperti politik ya?). Seorang pria secara natural adalah kepala keluarga, yang menentukan arah dan tujuan ke mana keluarga itu pergi. Tapi kalau ia sendiri tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, maka kepimpinannya akan menjadi lemah. Respek yang ia butuhkan dari istrinya pun akan berkurang.
Saya menemukan banyak pasangan yang menjadi bermasalah tatkala istri yang memiliki penghasilan yang lebih besar, menjadi dominan dalam mengambil keputusan keluarga. Kecuali jika sang istri sangat memahami prinsip kepemimpinan pria dalam keluarga, ia akan mampu tetap respek pada suami dan mengangkat posisi suami dalam keluarga.
Mapan memang perlu, tetapi yang harus dipertanyakan adalah, seberapa mapan? Apakah mapan itu berarti punya rumah dan mobil? apakah mapan itu berarti punya tabungan yang banyak? Ataukah sekedar mampu membiayai kebutuhan hidup sehari-hari? Definisi mapan ini bisa berbeda-beda tergantung pemikiran masing-masing. Maka saya lebih suka menggunakan istilah “mandiri”.
Mandiri artinya mampu membiayai kebutuhan hidupnya sendiri. Ini berarti suami wajib mencukupi kebutuhan keluarganya dengan tangannya sendiri, tanpa bantuan dari pihak keluarga besar. Namun demikian, dewasa ini dengan terus meningkatnya biaya kebutuhan hidup kita yang kian kompleks ini, tidak jarang suami seorang diri tidak mampu menutupi seluruh kebutuhan hidup keluarga. Karena itu dalam banyak keluarga, sang istri harus tetap bekerja untuk membantu meringankan biaya-biaya kebutuhan hidup yang harus ditanggung oleh sang suami.
Tidak ada masalah dalam hal ini selama keduanya tetap memegang prinsip bahwa tanggung jawab utama tetap pada pundak sang pria. Implikasinya, suami harus bekerja lebih keras, bekerja lebih cerdas daripada sang istri.
Ada lagi sebagian orang tua yang memaksakan agar anaknya punya rumah terlebih dahulu baru menikah. Ini memang situasi yang sangat ideal. Tetapi harga rumah dan tanah yang melambung tinggi saat ini menyisakan tempat hanya bagi segelintir orang saja yang mampu membeli rumah (khususnya di Jakarta dan kota-kota besar). Maka tidaklah bijak bagi orang tua menuntut anaknya (atau calon mantunya) untuk memiliki rumah. Terlebih lagi jika sang orang tua walau waktu dulu sanggup membeli rumah, tetapi saat ini, dengan penghasilan mereka sudah tidak sanggup untuk membelinya.
Kemandirian tidaklah perlu ditunjukkan dengan membeli rumah, tetapi bisa juga ditunjukkan dengan kemampuan untuk setidaknya menyewa tempat tinggal bagi mereka sendiri.
Jadi, prinsipnya suami-istri sebagai satu tim haruslah bisa mandiri (bukan mapan), namun tanggung jawab utama dalam mencari nafkah ada di pundak suami.
Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.