Budi (bukan nama sebenarnya) adalah seorang suami paruh baya yang bekerja di sebuah Bank besar di Jakarta, dan Mila adalah istrinya. Seperti para pekerja kantoran pada umumnya Budi diwajibkan untuk bekerja dari rumah (WFH) di masa pandemik Covid 19 ini. Istrinya, seorang ibu rumah tangga, ketika tim Pembelajar Hidup bertanya tentang kondisi rumah tangganya saat WFH (work from home) ini mengungkapkan betapa konflik meningkat di masa pandemik ini.
Baca juga: 5 Tips Meminta Suami Membantu Pekerjaan Rumah Tangga
Apa yang dialami Mila dan Budi bukan satu-satunya. Bagi banyak pasangan suami-istri, WFH bukannya membawa keharmonisan rumah tangga karena sang suami sering berada di rumah, tetapi justru membuat pertengkaran suami istri semakin intens.
Angka perceraian di China melonjak tinggi setelah lock down di sana dibuka (beritanya di sini). Di Jepang juga tidak berbeda. Bahkan istilah “perceraian corona” menjadi trending topik di media sosial Jepang (beritanya di sini). Amerika Serikat, negara yang memiliki jumlah penderita Covid-19 terbanyak sedunia juga menunjukkan data yang sama. Laman Pagesix menyatakan bahwa tingkat perceraian melonjak hingga 50% di Amerika Serikat. Bahkan data dari google trend pun menunjukkan bahwa pencarian keywords “konflik rumah tangga” di Indonesia meningkat signifikan di bulan Maret dan April 2020.
Pasangan-pasangan yang mempunyai basis relasi yang kurang baik, seringkali sebenarnya potensi konfliknya selalu ada, walaupun sehari-hari jarang konflik. Mereka tidak berkonflik hanya karena tidak sering bertemu dan berinteraksi. Ada juga orang-orang yang telah membangun tembok emosi, yang mana terlihat dengan menghindari komunikasi dengan pasangannya supaya tidak terjadi konflik. Dengan cara seperti ini, konflik memang berkurang, tapi potensi konfliknya sangat besar.
Perlu diketahui bahwa tembok emosi merupakan salah satu tanda dari 4 tanda kiamat menurut pakar pernikahan Dr. John Gottman (baca: Belajar dari Kasus Perceraian Ahok – Vero, Inilah 4 Tanda Kiamat Pernikahan yang Harus Diwaspadai) dan ini merupakan hal yang harus dihindari dalam suatu pernikahan.
Dalam kondisi WFH, keadaannya berbeda dengan biasanya. Pasutri jadi sering bertemu. Mereka mau tidak mau harus berinteraksi setiap hari karena mereka berada dalam tempat yang sama, bahkan hingga 24/7. Maka konflik pun menjadi tidak terelakkan.
Namun demikian sebenarnya bukankah justru waktu-waktu inilah saat yang paling ideal untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini menggantung dalam rumah tangga kita? Bukankah dengan demikian kita dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pernikahan kita sehingga lebih bisa dinikmati bersama?
Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu Anda yang mengalami konflik pasutri saat isolasi mandiri di rumah:
1. Membahas kembali unspoken rule yang berubah karena WFH. Dalam buku saya, “The Great Marriage“, saya menjelaskan bahwa aturan yang tidak terkatakan adalah aturan-aturan yang dimiliki salah satu dari Anda dalam kehidupan sehari-hari dan tidak boleh dilanggar oleh orang lain (pasangan kita). Aturan ini biasanya sudah ada sebelum menikah namun tidak terkatakan karena orang lain dianggap memiliki aturan yang sama. Salah satu contoh yang sering terjadi dalam unspoken rule dalam konteks bekerja dari rumah adalah: “Jangan pernah membereskan meja kerja saya!” atau “Jangan mengajak saya bicara saat saya sedang konsentrasi bekerja!” Waktu sang suami masih WFO alias bekerja dari kantor, aturan ini tidak pernah dibahas karena ia tidak pernah membawa pekerjaannya ke rumah. Tetapi waktu ia sekarang bekerja dari rumah, konflik dapat terjadi karena suaminya ada di rumah. Mungkin istrinya menganggap suaminya tidak mau turut membantu membereskan rumah, atau menganggap suami tidak perduli dengan dirinya. Padahal situasinya adalah bekerja (tempatnya saja di rumah).
Maka Anda berdua harus duduk kembali bersama dan mendiskusikan aturan-aturan apa yang tidak terkatakan yang berubah, atau baru muncul setelah WFH tersebut.
2. Memberikan ruang untuk bekerja. Idealnya walaupun bekerja dari rumah, tetapi sebaiknya tidak bekerja di mana saja. Harus ada tempat tertentu yang dikhususkan untuk bekerja. Dengan demikian istri/suami maupun anak dapat dengan mudah mengetahui kapan sang suami/istri sedang melakukan pekerjaan kantornya. Hal ini membantu penegakan unspoken rules yang dibicarakan di poin pertama tadi. Kalau rumahnya memiliki ruang yang terbatas, suami dapat mengklaim meja tertentu menjadi tempat kerjanya yang mana tidak boleh diganggu oleh anggota keluarga yang lain.
3. Disiplin waktu bekerja. Selain tempat, disiplin waktu bekerja juga penting untuk menegakkan unspoken rules. Paling mudahnya adalah menerapkan waktu kerja yang sama persis seperti ketika kita bekerja di kantor. Misalnya jam 8 pagi hingga 5 sore. Saat jam-jam tersebut, beritahu pada anggota keluarga untuk tidak mengganggu atau tidak berada di sekitar tempat bekerja, sehingga suami dapat berkonsentrasi penuh dan menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
4. Redakan stres dan kecemasan. Kondisi pandemik yang setelah 2 bulan lebih ini juga masih belum berakhir, tentu mendatangkan stres dan kecemasan yang tidak sedikit bagi banyak keluarga. Takut terjangkit corona adalah satu hal. Hal lainnya adalah ancaman PHK dan kebangkrutan bisnis. Ada kata-kata bijak yang mengatakan bahwa “kekuatiran kita tidak akan menambah sejengkal hidup kita”. Perkataan ini sangat akurat, karena kekuatiran memang berguna untuk menaikkan status siaga diri kita dari siaga tiga menjadi siaga dua atau siaga satu, namun kekuatiran yang berlebihan hanya akan membunuh kemampuan kita. Kita perlu meredakan stres dan kecemasan yang kita miliki supaya kita bisa survive melalui krisis corona ini.
Lakukanlah meditasi. Kuatkan iman Anda melalui bacaan rohani atau mendengarkan kotbah para pemuka agama favorit Anda. Penuhi pikiran Anda dengan pikiran positif yang nyata (bukan membohongi diri sendiri). Perkuat persahabatan dan relasi Anda dengan orang lain dan keluarga sebagai sistem pendukung Anda. Anda akan mampu mengatasi stres dan kecemasan Anda dengan cepat. Langkah-langkah ini secara mendetail saya tuliskan pada buku saya “Tangguh” yang akan segera diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
5. Selesaikan unsolved problem yang selama ini mengantung. Pernikahan itu sangat personal sifatnya. Pernikahan itu sangat rentan karena kita menyingkapkan diri kita seutuhnya tanpa perlindungan kepada orang yang paling dekat dengan kita. Dan terkadang sengaja maupun tidak sengaja kekasih kita ini melukai diri kita. Perlu ada rekonsiliasi, menyembuhkan luka hati dan menyelesaikan masalah yang belum terpecahkan yang selama ini tersimpan di dalam hati kita. Karena seringkali pertengkaran tidak dipicu oleh hal yang besar, tetapi hal yang kecil, yang karena kita sudah sering dilukai, maka luka itu sangat mudah terbuka kembali saat disentuh. Kita juga sudah menyematkan label negatif pada pasangan kita, sehingga apa pun yang dilakukan olehnya, walaupun bermaksud baik, seringkali kita maknai secara negatif.
Jikalau waktu Anda dan pasangan sekarang sudah menjadi lebih banyak, bukanlah ide yang buruk untuk saat ini mencari bantuan profesional. Covid ini telah memaksa semua coach dan konselor untuk dapat melayani secara online. Secara internasional, konseling online tetap diakui dan dirasakan cukup efektif, baik melalui telepon, maupun video call. Kami pun telah berlangganan layanan video call/meeting berbayar yang digunakan oleh para coach dan konselor di seluruh dunia untuk memberikan layanan terbaik bagi klien-klien kami.
Dengan melakukan kelima hal di atas, semoga bisa membantu Anda untuk tidak mengalami konflik rumah tangga lebih banyak di masa WFH ini.
Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.