
Ini pertanyaan klasik yang sepertinya tidak akan pernah habis dibahas sampai anak cucu kita. Tapi bagaimana pun, sama seperti banyak pemuda yang sedang mencari jodoh lainnya, pertanyaan ini juga sempat hinggap di pikiran saya bertahun-tahun lamanya. Saya akan coba memaparkan secara umum dulu, tetapi karena pembahasan tentang takdir menyangkut kepercayaan pada Tuhan, maka saya akan membahas dari sudut pandang agama Kristen di akhir jawaban saya.
Baca juga: 6 Tips Menemukan Pasangan Hidup (khusus Introvert)
Kubu yang percaya bahwa pasangan hidup itu jodoh, memikirkan beberapa hal yaitu:
- Jatuh cinta tidak bisa diatur dan tidak bisa dipaksakan. Kita tidak bisa memilih jatuh cinta dengan siapa, itu terjadi begitu saja. Karena itu, pasangan hidup itu pasti jodoh.
- Hanya ada 1 orang yang paling tepat untuk menjadi pasangan hidupku, itulah jodohku yang Tuhan takdirkan untukku.
- Bukankah Tuhan Maha Kuasa? Berarti segala hal sudah ditentukan oleh-Nya. Karenanya, pasangan hidup saya adalah jodoh yang Tuhan takdirkan.
Problem dengan 3 pemikiran/kepercayaan ini adalah:
1. Pemikiran bahwa jatuh cinta tidak bisa diatur dan datang tiba-tiba tanpa diundang.
Perasaan bergejolak yang menggebu-gebu yang kita sering rasakan datang tiba-tiba itu adalah unsur passion dari cinta. Itu merupakan bagian dari cinta, tetapi bukan seluruhnya. Dan unsur cinta ini sebenarnya tidak datang secara tiba-tiba karena jatuh cinta pada dasarnya adalah matematika penjumlahan dan pengurangan saldo tabungan cinta.
Setiap interaksi positif akan menambah saldo tabungan cinta, sedangkan interaksi negatif akan menguranginya. Saat kita memenuhi kebutuhan emosional orang lain, tabungan cinta kita padanya akan bertambah, sebaliknya saat kita melukainya, tabungan cinta kita akan berkurang secara drastis.
Bagaimana kita jatuh cinta, adalah ketika tabungan cinta seseorang pada kita sangat positif sehingga telah melampaui threshold rasa cinta. Jadi chemistry dengan jodoh kita itu bukan magic atau karena adanya cupid yang membidik kita tiba-tiba.
Nah, namun bagaimana dengan cinta pada pandangan pertama?
Salah satu kebutuhan emosional yang ditemukan sebagai penambah tabungan cinta dengan signifikan bagi sebagian orang adalah daya tarik fisik. Jadi memang saat seseorang menemukan fisik lawan jenisnya begitu memuaskannya, orang yang menarik tersebut akan menabung tabungan cinta yang besar dalam dirinya sehingga bisa jadi melebihi threshold tadi dan bang! I’m falling in love…
Tapi bagaimana pun jatuh cinta pada pandangan pertama belum menjadi cinta sungguhan dan sangat rentan berubah, terutama ketika mulai kenal dan berinteraksi lebih lanjut.
Prof. Robert Sternberg, orang yang merumuskan tentang segitiga cinta, menemukan bahwa komitmen adalah salah satu unsur cinta. Sedangkan definisi komitmen itu sendiri adalah: keputusan untuk mencintai seseorang dan untuk tetap mencintai orang itu. Jadi cinta itu sebenarnya adalah keputusan. Para pria memutuskan untuk mengejar seorang wanita untuk dijadikan pacar/istri. Para wanita memutuskan untuk menerima cinta seorang pria yang menyatakan cintanya.
Bukti bahwa memang cinta itu bisa dibangun dan bukan sekedar perasaan yang tidak bisa dikendalikan adalah, orang tua kita dulu yang menikah karena dijodohkan, ternyata ada juga di antara mereka yang benar-benar kemudian jatuh cinta satu dengan yang lainnya setelah menikah.
Ada juga teman-teman yang dikenalkan oleh orang lain (istilahnya di kaum tionghoa adalah di-jieshao-kan) karena usianya sudah kepala 3 atau 4 tetapi belum punya pacar. Banyak dari antara mereka yang sebenarnya tidak punya cinta romantis seperti anak kuliahan tetapi mau menikah karena memang usia sudah cukup dan ternyata cukup cocok satu dengan yang lain. Sekalipun tidak ada cinta menggebu-gebu yang “tidak bisa diatur” tadi, tidak jarang mereka pun bisa langgeng dan menikmati cinta yang satu dengan yang lain.
Tentu saja nasib yang sama juga bisa diperoleh oleh teman-teman yang ta’aruf. Selalu ada kesempatan untuk saling jatuh cinta, selama kedua pasangan saling menabung dengan saldo yang memadai di tabungan cinta pasangannya (yaitu memenuhi kebutuhan emosionalnya).
2. Hanya ada 1 orang yang paling tepat menjadi tulang rusukku di dunia ini (atau aku adalah tulang rusuk milik 1 orang saja).
Problem dengan pemikiran ini sudah saya tuliskan di buku saya: The Great Marriage. Saya akan cuplik di sini dengan sedikit perubahan.
Mario dan Nissa adalah pasangan yang serasi. Mario suka musik dan Nissa suka menyanyi. Mario suka berpetualang, Nissa juga. Maria penggemar soto betawi, ternyata Nissa juga suka sekali makan soto yang sama. Bahkan mereka sama-sama ingin membuka usaha kursus musik dan vokal. Mereka sangat cocok sekali. Sepertinya mereka diciptakan untuk satu dengan yang lain. Mario JODOHnya Nissa, Nissa JODOHnya Mario.
Namun setelah mereka menikah, masalah mulai muncul. Nissa ternyata tidak terlalu suka masak, padahal Mario selalu makan di rumah, karena ibunya yang selalu menyediakan makanan sehat baginya. Mario juga sangat senang hang out bersama teman-temannya. Sekarang, dengan kehadiran si kecil, Nissa tidak dapat lagi menemani Mario hang out bersama teman-temannya. Nissa juga menjadi sangat memperhatikan kesehatan. Ia melarang Mario untuk makan soto betawi karena terlalu banyak santan dan kolesterol. Larangan yang tidak dapat Mario patuhi sama sekali karena kecintaannya pada soto betawi.
Keadaan ini membuat Mario bertanya-tanya apakah memang Nissa adalah jodohnya? Pada kondisi rentan seperti itu, ia menemukan Delila, teman kantor yang begitu cantik dan menarik. Ia selalu ikut Mario pergi makan soto betawi di belakang kantor mereka. Waktu ngobrol Mario merasa begitu akrab dan nyambung dengan Delila. Bukan cuma itu, Delila juga pandai masak dan sudah memiliki tabungan yang ingin digunakan untuk berwirausaha. Mario lahir 18 Oktober, dan Delila 18 Desember. Luar biasa! “Mungkinkah Delila adalah JODOHku yang sebenarnya?” demikian pikir Mario.
Kisah fiktif di atas merupakan kisah yang sangat umum terjadi dalam kehidupan kita. Kita menemukan seseorang yang kelihatannya banyak kesamaan dengan kita, nyambung dengan kita, klop banget. Seakan-akan ia memang diciptakan untuk saya! Dan kita pikir ia adalah jodoh kita.
Pemikiran seperti ini didasarkan pada mitos bahwa hanya ada 1 orang yang paling tepat, yang terbaik untuk menjadi pasangan kita. Ia adalah tulang rusuk kita, jodoh kita, yang sudah diciptakan secara khusus untuk menjadi pasangan kita. Ia adalah The ONE.
Secara lebih ekstrim lagi ada yang berpikir bahwa kalau harus diusahakan, itu namanya bukan jodoh. Cinta itu harus natural, jadi kalau setelah dijalani ternyata banyak perbedaan, itu artinya bukan dia orangnya.
Masalah dengan pemikiran seperti ini adalah ternyata dengan siapa pun kita menikah, secocok dan sebanyak apapun persamaan dengan pasangan kita, kita butuh untuk berjuang untuk bisa beradaptasi dengan pasangan kita. Pernikahan adalah persatuan dua insan yang berasal dari keluarga yang berbeda, latar belakang berbeda, pola pikir dan karakter yang berbeda, nilai-nilai hidup dan harapan yang berbeda. Tidak ada pernikahan yang bisa selamat tanpa proses adaptasi, toleransi dan kompromi yang harus dijalani bersama-sama. Proses adaptasi untuk menjadi teamwork yang solid inilah yang tidak mudah dan tidak jarang memicu pertengkaran.
Dengan Nissa, Mario harus beradaptasi dengan ketidaksukaan Nissa memasak. Tetapi kalaupun ia memilih Delila, Mario tetap harus beradaptasi dengan hal lainnya, misalnya sifat perfeksionisnya. Jadi the one itu selalu cocok di permukaan, namun tetap bercucuran darah dan air mata ketika harus melalui proses yang sama.
Maka tidak pernah ada seorang “The ONE” di luar sana yang sedang menunggu kita untuk menjadi pasangan kita. Saat kita berpikir bahwa hanya ada 1 the ONE di dunia ini, kita membuka kemungkinan bahwa suami atau istri kita bisa jadi bukan DIA! Sedikit persoalan, secuil realitas yang kita hadapi bisa membuat kita goyah dan mulai mengatakan “dia bukan orangnya!”. Pernikahan kita menjadi rentan terlebih saat kita menemukan alternatif pilihan yang lebih “cocok” dan lebih menarik.
Justru waktu kita berkomitmen pada suami/istri kita, kita akan belajar menangani konflik dengan baik, dan terus berusaha memupuk cinta kita melalui peta cinta dan tabungan cinta. Maka kita maupun pasangan kita akhirnya akan bertransformasi menjadi The ONE satu sama lain.
3. Tuhan menentukan segala hal di dunia ini, termasuk jodoh saya.
Khusus nomor 3 ini saya akan bahas secara Kristen (untuk agama lain, saya persilakan pemeluknya sendiri yang lebih kompeten menjawabnya).
Pernyataan nomor 3 ini prinsipnya secara iman Kristen benar, tetapi implikasinya yang seringkali keliru.
Takdir seringkali diantitesiskan dengan menentukan nasib sendiri. Kalau Tuhan menentukan nasib saya, untuk apa lagi saya berusaha? Kalau saya mengupayakannya dengan keringat saya sendiri, itu artinya saya tidak bersandar pada Tuhan, tidak menyerahkan hidup pada-Nya, tidak mengandalkan Tuhan.
Pergumulan yang serupa adalah: Apakah pekerjaan itu panggilan atau pilihan? Tujuan hidup saya panggilan atau pilihan? Keselamatan manusia itu takdir (predestinasi) atau pilihan manusia?
Pembahasan mengenai takdir Tuhan akan sangat panjang dan memuat doktrin serta filosofi Kristen yang cukup sulit dicerna, namun secara singkatnya begini: Tuhan menakdirkan jalan hidup manusia, juga melalui pilihan-pilihan yang kita buat.
Jadi kalau kita memilih si A menjadi pasangan hidup kita, sebenarnya Tuhan sudah lebih dahulu menakdirkan kita dengan si A, dan takdir itu kita jalani dengan memilih secara sadar, keputusan kita sendiri untuk menikahi A. Jadi tetap saja kita bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri untuk pasangan hidup kita.
Pemikiran bahwa Tuhan yang menentukan jodoh kita bisa membuat seseorang menyalahkan Tuhan untuk pasangan hidup yang kita nikahi, padahal takdir Tuhan sama sekali tidak menyingkirkan tanggung jawab manusia untuk memilih dengan benar.
Karena itu tidak usah percaya apabila ada seseorang yang datang pada Anda (khususnya para wanita cantik) lalu mengatakan bahwa “Tuhan mengatakan bahwa kamu adalah jodohku!”
Jadi, apakah pasangan hidup itu jodoh atau pilihan? Jawabannya adalah keduanya benar. Kita sebagai manusia perlu percaya dan bersandar akan tuntunan Tuhan dalam memilih jodoh, namun kita dianugerahkan akal budi dan hikmat untuk bisa memilih dengan free will kita, jodoh kita sendiri dengan sebaik mungkin. Dan pilihan itu harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah dan manusia dengan suatu komitmen “sampai maut memisahkan kita“.

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.