
Suatu kondisi disebut krisis kalau situasi itu mengandung bahaya yang bisa mengancam. Dikatakan krisis rumah tangga jika ada ancaman perceraian. Krisis keuangan jika keuangan seseorang terancam bangkrut, atau juga krisis yang dapat mengakibatkan nyawa kita melayang. Di luar dari topik krisis yang dialami, krisis apa pun selalu membuat kita stres, yang dapat berdampak pada kesehatan badan dan tidak jarang mengganggu relasi rumah tangga. Tetapi krisis tidak harus selalu membawa bahaya. Krisis justru dapat menjadi anugerah Tuhan yang mengubah kita menjadi lebih baik, lebih sukses bahkan juga merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan hubungan antara suami dan istri.
Baca juga: 7 Hambatan Ketangguhan
Dalam bahasa Mandarin, krisis terdiri dari 2 kata: 危机 (wei ji). Wei berarti bahaya, sedangkan ji berarti kesempatan. Demikianlah falsafah Tionghoa bahwa krisis memang merupakan kondisi yang mengancam tetapi di tengah krisis selalu ada kesempatan. Apa rahasianya agar krisis dapat berubah menjadi kesempatan emas? Berikut ini 5 rahasianya.
Bersedia Bertransformasi
Rahasia pertama untuk mengubah krisis menjadi kesempatan adalah kesediaan diri kita untuk berubah. Kesediaan untuk berubah menjadi versi yang lebih baik dari diri kita merupakan kunci utama yang membuka kesempatan untuk maju. Kelihatannya mudah dan sederhana, tetapi hambatan tersebesarnya selalu adalah diri kita sendiri, yakni:
- Semua manusia tidak nyaman dengan perubahan, terutama jika perubahan itu mengusik zona nyaman.
- Kita tidak merasa melakukan kesalahan dan karenanya kita tidak merasa perlu berubah.
- Habit mencari jalan pintas yang instan daripada melakukan perubahan mendasar dalam diri kita yang sulit dan menyakitkan
Bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut? Penjelasan mengenai ini sudah dibahas dalam 4 hal yang mampu memotivasi diri kita untuk berubah dan 6 hal yang kontra perubahan yang dapat dibaca di artikel ini: 4 Hal Yang Mampu Memotivasi Seseorang untuk Berubah.
Menerima Kekalahan, Kegagalan dan Kesalahan
Kesempatan baru muncul saat kita mengakui bahwa kita melakukan kesalahan. Tapi walaupun kita tidak melakukan kesalahan kita perlu mengakui kekalahan kita.
Era 1990-2000-an ponsel Nokia begitu berjaya, tetapi saat ini bisnis handphone Nokia sudah lama amblas kena gempuran ponsel Samsung, Iphone dan ponsel-ponsel China. Di tahun 2013, pada press conference penjualan unit bisnis ponsel Nokia kepada Microsoft, CEO Nokia mengatakan menjadi kutipan yang sangat terkenal di masa kini, “We didn’t do anything wrong, but somehow we lost“.
Banyak pengamat leadership maupun bisnis sudah membahas kesalahan-kesalahan Nokia, yang biasanya mengungkapkan pentingnya agility dalam bisnis maupun masalah learning dan transformasi. Namun mungkin yang paling tahu adalah orang Nokia sendiri, dan mungkin saja mereka memang tidak melakukan kesalahan. Kegagalan mereka hanyalah dampak dari perubahan teknologi dan bisnis (faktor eksternal) yang tidak mampu dilawan bahkan oleh organisasi seraksasa mereka. Tetapi bagaimana pun, mereka telah kalah.
Persis seperti saat ini dimana bisnis banyak yang tutup karena pandemi Covid-19. Para pengusaha tersebut banyak yang memang tidak melakukan kesalahan, hanya saja kondisi eksternal yang tidak mampu mereka lawan. Bagaimana pun, mengakui kesalahan, kegagalan dan kekalahan diperlukan untuk membantu kita berubah. Karena tanpa mengakuinya, tidak pernah ada kesempatan untuk mengubah krisis menjadi sukses. Tidak perlu mempertahankan ego untuk mengakui kegagalan, toh ego kita tidak dapat menyelamatkan kita dari krisis.
Yang perlu dilakukan setelah mengakuinya adalah mundur sejenak, memperbaiki kesalahan atau melakukan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan eksternal dan kembali berjuang. Ini yang dilakukan oleh Pizza Hut dengan jualan paket di pinggir jalan, atau perusahaan konfeksi baju yang beralih ke produksi masker, atau pengusaha-pengusaha kontraktor yang menjadi pengusaha katering.
Pikiran Positif yang Produktif
Banyak orang berpikir kita harus berpikiran optimis. Selalu berpikir positif dalam segala kondisi termasuk dalam kondisi krisis dan itu yang membantu kita untuk bangkit. Tapi kenyataannya tidak demikian.
Waktu Admiral Jim Stockdale, yang pernah menjadi tahanan Vietkong selama 7 tahun diwawancarai, ia menceritakan bahwa ia tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa suatu saat nanti ia akan berhasil lepas dari penderitaan di Vietnam tersebut. Tetapi waktu ditanya oleh pewawancara siapa yang tidak mampu bertahan dalam penderitaan tersebut, Jim berkata, “Mereka yang optimis” (benar, Anda tidak salah baca!)
Jim menjelaskan bahwa memang dibutuhkan optimisme yang teguh untuk bisa bertahan dalam kondisi yang super buruk tersebut, tapi di pihak lain juga dibutuhkan disiplin untuk terus menghadapi kenyataan yang sangat brutal bahwa mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari siksaan itu bahkan untuk bertahun-tahun lamanya.
Karena itu tidak semua pikiran positif dan optimisme adalah sehat. Istilah yang lebih tepat adalah pikiran positif yang produktif. Dalam buku saya, “TANGGUH” saya mengutip perkataan Prof Loehr bahwa pikiran positif yang produktif adalah berpikir secara kritis tanpa menjadi negatif, yaitu mampu melihat kebenaran secara kritis, namun melihatnya dalam konteks positif.
Dalam contoh kasus Jim Stockdale tadi, pikiran positif yang produktif bukanlah “saya pasti akan bebas tahun depan”, tetapi “saya akan mampu bertahan dalam penganiayaan ini seberapa pun beratnya, this shall pass too”
Adaptasi yang Beradab
Benar bahwa kita harus melakukan perubahan untuk bisa bertahan dalam krisis, hingga kesempatan muncul, namun jika kita merubah segala sesuatu sehingga kita mengkompromikan apa yang menjadikan kita manusia, maka tidak ada lagi yang tersisa setelah perubahan, walaupun krisis berhasil dilalui.
Ini berarti melakukan segala cara untuk bisa bertahan hidup dalam krisis, tetapi tidak melakukan sesuatu yang melawan hukum maupun menyakiti orang lain. Berkorban dalam banyak hal untuk survive, tapi tidak mengorbankan orang lain. Pakailah prinsip “bersama kita bisa”, dan jauhi upaya untuk “hidup di atas penderitaan orang lain”
Salah satu hal penting lagi yang tidak boleh dikorbankan untuk bisa bertahan hidup adalah relasi kita dengan pasangan kita.
Berada dalam Satu Tim dengan Pasangan
Krisis harusnya bukanlah penghancur keluarga, tetapi justru krisis merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan hubungan kita dengan pasangan kita. Dalam buku “The Great Marriage“, saya menuliskan ada 7 sarana untuk membangun persahabatan dengan pasangan, dan salah satunya adalah krisis.
Tidak jarang setelah menghadapi krisis bersama, pasutri justru menjadi semakin akrab dan semakin kompak, tapi untuk memungkinkan hal tersebut, rahasianya ada pada bagaimana pasangan tersebut menghadapi krisis sebagai satu tim yang sama.
Berada dalam satu tim yang sama berarti menjadikan krisis sebagai masalah dan musuh bersama. Bahwa suami dan istri harus saling berpegangan tangan dan saling menolong untuk bisa keluar dari krisis. Juga bahwa pasangan kita bukanlah musuhnya, melainkan krisis.
Orang yang memperlakukan pasangannya sebagai rekan satu tim tidaklah berupaya mencari kesalahan pasangan, tetapi berupaya memahami pasangan dan membantunya mencari jalan keluar. Dan hal itu tidak dilakukan dengan cara menasehati, menggurui atau bahkan merendahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pasangan. Dukungan akan selalu dirasakan jika kita mampu mendengarkan dan memahami pasangan serta menunjukkan bahwa kita berada di pihaknya.
Itulah 5 cara mengubah krisis menjadi kesempatan emas untuk kesuksesan dan kebahagiaan rumah tangga Anda.
“Di masa prasejarah, manusia seringkali hanya punya dua pilihan dalam krisis: tempur atau kabur. Dalam jaman modern, humor menawarkan kepada kita alternatif ketiga; tempur, kabur – atau tertawa.” Robert Orben

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.