Masalah-Masalah dalam Hubungan Jarak Jauh (LDM)

Dalam tatanan dunia global ini, terkadang terpisahkan oleh jarak menjadi tidak terelakkan dalam suatu hubungan romantis. Kita sebut saja si Joe sudah pacaran dengan Prue dari waktu kuliah di Australia. Namun karena ia memutuskan untuk melanjutkan bisnis sang ayah di tanah air, ia berpisah dengan pacarnya, yang memutuskan untuk berkarir di Singapura. Dua tahun kemudian mereka menikah di Hong Kong, dan kemudian menjalani kehidupan masing-masing dengan pekerjaan masing-masing di negara masing-masing. Kelihatannya semua berjalan dengan baik. Kadang Joe mengunjungi istri dan anaknya di Singapura, kadang Prue yang datang ke Jakarta. Mereka pun sering memasang foto-foto kebersamaan mereka di sosial media dan terlihat begitu manis dan romantis. Namun di balik keharmonisan mereka, hanya sedikit orang yang tahu masalah-masalah dalam hubungan LDM mereka.

Baca juga: Krisis Rumah Tangga ala Queen of Tears Menurut Konselor Pernikahan

Setidaknya ada 4 masalah dalam pernikahan yang dijalani dengan jarak jauh:

  1. Keterbatasan dalam menunjukkan kasih sayang
  2. Diskoneksi
  3. Masalah kepercayaan
  4. Seorang anak membutuhkan kedua orang tuanya

Keterbatasan dalam Menunjukkan Kasih Sayang

Pernah dengar tentang 5 bahasa cinta? Gary Chapman mengidentifikasi ada 5 cara manusia untuk menunjukkan kasih sayang. Dan kelimanya sesungguhnya dibutuhkan dalam suatu hubungan romantis (pembahasan hal ini dapat dibaca di artikel: 4 Hal Penting Tentang Bahasa Kasih yang Tidak Banyak Orang Tahu). Namun apakah kelimanya dapat diberikan dalam suatu hubungan LDR atau LDM? Mari kita lihat satu-persatu:

  1. Word of affirmation: Kata-kata yang memberikan apresiasi dan pujian. Tentu hal ini dapat dilakukan dari jarak jauh. Sudah ada teknologi WA, sosial media, dan video call. Namun kata-kata apresiasi dan pujian yang dapat diberikan hanyalah sejauh ucapan saja. Teknologi video call meningkatkannya menjadi melibatkan mimik muka dan nada (komunikasi non verbal), akan tetapi tetap saja tidak pernah bisa menyamai perkataan pujian dan apresiasi yang diucapkan langsung dengan eye contact.
  2. Physical touch: Sentuhan fisik. Yang ini jelas tidak bisa.
  3. Gift: Hadiah. Dengan berkembangnya jual-beli online saat ini, kita sudah dapat mengirimkan kado/hadiah untuk orang yang tercinta melalui pesan online. Namun lagi-lagi tidak bisa diserahkan langsung. Tapi paling tidak masih bisa membuat kejutan, walaupun terbatas.
  4. Quality time: Waktu bersama pasangan yang berkualitas. Pasangan yang LDR hanya dapat menghabiskan waktu yang berkualitas secara terbatas melalui obrolan. Deep talk tentu juga bisa. Menyalakan video call 24 jam sehari, saling menemani pasangannya beraktivitas. Tapi sudah, hanya itu saja. Tidak bisa olah raga bersama, menikmati hobi bersama, jalan-jalan, apalagi hubungan intim.
  5. Act of service: Melakukan sesuatu untuk pasangan, melayani pasangan kita. Hal ini sangat terbatas, hampir mustahil untuk bisa dilakukan jarak jauh.

Dengan terbatasnya pasangan saling mengekspresikan kasih sayang satu sama lain, tabungan cinta sulit juga terbangun. Hubungan seperti ini dapat memburuk dengan berjalannya waktu. Maka munculah masalah berikutnya: diskoneksi.

Diskoneksi

Keterbatasan lain yang signifikan dalam suatu pernikahan yang LDM adalah pasutri tidak/sulit untuk bisa bahu-membahu menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup. Pasangannya memang bisa memberikan dukungan semangat melalui kata-kata, bisa juga memberikan telinga yang selalu siap untuk mendengar keluh-kesah pasangannya, tetapi dukungan praktis hampir sama sekali tidak dapat dilakukan. Seorang istri LDM yang baru melahirkan misalnya, akan sangat kesulitan dengan keseharian dengan bayinya tanpa kehadiran sang suami di sisinya. Ia harus mengandalkan orang lain; sanak saudara, orang tua atau suster untuk membantunya.

LDM akhirnya akan membuat keduanya menjadi mandiri, istilah yang positif sebenarnya namun dalam konteks pernikahan bisa jadi negatif, yaitu ketika salah satu atau keduanya menjadi terlalu mandiri sehingga tidak lagi mengandalkan pasangannya, atau dengan kata lain melepaskan ketergantungannya kepada pasangannya sepenuhnya. Inilah diskoneksi. Hal-hal yang mengikat keduanya, lambat laun akan pudar dan semakin hidup masing-masing.

Di samping itu, salah satu masalah utama dalam hubungan jarak jauh yang benar-benar jauh (misalnya suaminya di Washington, istrinya di Jakarta), di mana perbedaan waktu yang begitu besar, menyulitkan keduanya untuk memiliki waktu bersama dan ini sudah pasti sangat rentan untuk menjadi terdiskoneksi.

Masalah Kepercayaan

Kalau diskoneksi sudah terjadi, kepercayaan mulai rapuh. Dulu saling percaya, tapi lama-kelamaan makin terpisah, mulai berkurang interaksi, mulai berkurang saling mengabari, akhirnya kecurigaan demi kecurigaan terjadi. Kecurigaan ini mungkin sebenarnya valid (artinya pasangannya ternyata tidak bisa menjaga kesetiaan dan komitmennya), tetapi bisa juga sebenarnya hanyalah pikiran negatif yang sudah muncul.

Di sini lingkaran setan bisa terjadi. Semakin terdiskoneksi, kepercayaan semakin rapuh, semakin rapuh kepercayaan, keduanya bisa mencoba mengatasinya dengan cara yang salah sehingga semakin terpisah satu sama lain. Misalnya dengan mengabaikan tanda-tanda, atau memberikan kepercayaan buta tanpa bukti, marah-marah, siklus mengejar-menghindar (pursue-avoid). Kondisi akan menjadi semakin memburuk. Yang tadinya tidak ada perselingkuhan, bisa jadi akhirnya benar-benar terjadi.

Anak Membutuhkan Kedua Orang Tuanya

Yang terakhir adalah masalah anak. Jika Anda ingin memberikan yang terbaik bagi anak, kedua orang tua harus dan wajib hadir. Walau kita sebagai orang dewasa ingin dimengerti, tapi seorang anak mempunyai kapasitas terbatas untuk memahami dan menyelami ketidakhadiran orang tuanya. Kita perlu mengetahui bahwa pengabaian anak adalah passive abuse kepada anak.

Kehadiran ayah dan ibu di golden age anak adalah priceless. Sebuah penelitian menemukan bahwa ayah yang hadir dan bermain bersama anaknya yang berusia 4 tahun akan menentukan kemandirian dan EQ anak di usia 8 tahun. Para anak yang ayahnya hadir lebih mandiri dan lebih dewasa secara emosi, mereka cenderung dapat mengendalikan emosi mereka pada usia 8 tahun.

Bapak ibu sobat pembelajar, tentu setiap pasangan memiliki pertimbangan dan keterbatasan-keterbatasan dalam memilih jalan hidup pernikahan mereka. Namun suatu hubungan yang LDM hanya bisa berjalan dengan baik dan minim dampak buruknya, jika memiliki batas waktu. Karena dengan adanya batas waktu, pasangan bisa berharap bahwa apapun kesulitan itu, ini hanyalah sementara. Tetapi tanpa batas waktu, kesendirian dan kesepian itu dapat menjadi ancaman berat yang tidak bisa terobati.

Bagaimana pendapat Anda?