Anakku Sayang, Mengapa Kamu Bunuh Diri, Nak?

anak depresi orang tua bertengkar

Sore itu aku tertegun. Aku baru saja mendengar kabar yang sangat buruk, yaitu tentang meninggalnya seorang gadis cilik kelas 7, siswi sebuah SMP swasta yang terkenal di Jakarta Utara akibat bunuh diri. Sebut saja namanya Maria. Kejadian ini menghenyakkan ketenanganku beberapa hari ini karena ia tidak jauh dari kami. Walaupun keluarga kami tidak secara langsung mengenal keluarga Maria, tetapi beberapa teman-teman istriku mengenal orang tuanya, dan bahkan salah satu teman dekat anakku adalah salah satu dari sedikit follower Instagram almarhum Maria yang viral itu.

Selalu hampir dapat diduga bahwa penyebab kejadian bunuh diri di kalangan anak muda adalah akibat depresi. Dan kondisi PJJ yang berkepanjangan ini telah memperburuk situasi rumah sehingga anak-anak yang mengalami depresi menerima tekanan yang lebih berat di rumah.

Baca juga: 3 Tips Mendidik Anak untuk Tangguh

Sebelum melakukan bunuh diri di rumahnya, Maria telah beberapa kali menuliskan niatnya di akun Instagram miliknya. Kata-kata seperti “I wanna KMS” (KMS=Kill My Self), dan foto ia sedang mengalungkan tali untuk mencekik dirinya sudah muncul di feed IG. Dan saat itu terjadi, teman-temannya sudah memberitahu guru dan orang tuanya sebelum akhirnya Maria mewujudkan niat yang sangat disesalkan itu.

Bahkan tanpa ada PJJ pun, anak-anak yang menderita depresi tidak boleh kita abaikan. Foto simulasi bunuh diri yang dipajangnya di Instagram sudah menunjukkan bahwa Maria bukan hanya baru berniat bunuh diri, tetapi ia sudah memikirkan caranya, bahkan sudah mencobanya. Orang-orang yang menderita depresi seperti ini perlu segera ditolong oleh psikolog/konselor profesional tanpa boleh menundanya. Dan sambil mengusahakan hal itu, P3K bagi anak-anak penderita depresi ini adalah memperhatikan dan mendengarkan isi hatinya.

Mungkin kita pikir kita sudah cukup memperhatikan anak-anak kita. Kita memberi mereka makan yang cukup (bahkan berlebihan), kita memberi mereka pakaian yang indah-indah, sekolah di sekolahan yang terbaik yang memberikan mereka kesempatan yang jauh lebih besar untuk sukses, bahkan lebih daripada 97% anak Indonesia lainnya. Tetapi ternyata “perhatian” ini sama sekali jauh dari cukup.

Uang, yang berperan dalam bentuk makan sehat, aktivitas yang cukup untuk anak, pakaian dan sekolah terbagus, hanyalah hygiene factor dalam teori motivasi Herzberg. Tentu saja penting, dan harus cukup. Tetapi setelah cukup, maka pertambahan uang tidak akan terlalu jauh memberikan kontribusi terhadap kebahagiaan. Yang anak-anak butuhkan lebih daripada fasilitas dasar itu adalah suasana keluarga yang kondusif dan waktu orang tua yang cukup memadai untuk mereka.

Konflik yang berkepanjangan dari orang tua, pasangan suami istri yang terus-menerus bertengkar mewarnai hari-hari anak, bukanlah kondisi keluarga yang kondusif yang mendukung kesehatan mental anak. Tapi demikian juga perceraian. Tidak perlu kita membahas sampai kepada kompleksitas keluarga dengan saudara tiri. Kita harus mencegahnya dimulai dari awal-awal pernikahan, saat konflik-konflik yang mulai tidak terselesaikan sudah mulai terjadi, dan 4 penunggang kuda kiamat pernikahan sudah mampir ke dalam rumah tangga kita. Empat penunggang kuda kiamat itu adalah: Kritik, Hinaan, Defensif dan Tembok Emosi (Penjelasan mengenai keempatnya ada di sini: Belajar dari Kasus Perceraian Ahok – Vero, Inilah 4 Tanda Kiamat Pernikahan yang Harus Diwaspadai)

Tidak perlu malu lagi untuk segera mencari bantuan profesional ketika masalah rumah tangga muncul. Tidak! Apalagi setelah ada anak-anak yang meninggal karena ulah kita. Kalau psikolog sudah dihadirkan namun belum bisa selesai, coba psikolog lain, atau coba bantuan profesional lainnya. Hamba Tuhan bisa membantu tapi tidak selalu dapat menolong. Kalau konselor yang satu gagal, masih ada konselor lain, dan carilah terutama yang memang ahli dan terlatih dalam menangani masalah pasutri, bukan psikolog/konselor umum atau psikolog/konselor anak.

Dan kalau anak kita sudah menunjukkan gejala-gejala depresi atau KMS, tidak perlu malu juga untuk membawa anak kita ke Psikiater atau ke Psikolog kalau itu menyelamatkan nyawanya.

Nasi sudah menjadi bubur bagi keluarga Maria. Tapi belum bagi Anda dan saya. Jangan remehkan depresi anak, jangan remehkan konflik rumah tangga yang tidak terselesaikan, sayangi istri, dan anak-anak Anda dan kalahkan ego Anda dengan mencari pertolongan.

Tuhan memberkati keluarga Anda semua. Salam Pembelajar!

Bagaimana pendapat Anda?