Mungkin pernyataan saya ini membuat heran banyak orang yang sering membaca tulisan saya: kehidupan pernikahan saya tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan.
Saya adalah seorang yang terdidik dengan baik dalam agama yang saya anut yaitu Kristen, yang menganut hubungan seksual yang hanya boleh dilakukan setelah menikah. Di satu sisi saya berusaha menaati ajaran agama, di sisi lain, nafsu seksual sudah hadir dalam hidup saya sejak saya SMP (mungkin SD??).
Baca juga: Apakah pernikahan pasangan muda itu dilandasi atas dasar cinta yang tulus dan bukan nafsu?
Bayangkan seorang pria normal yang sudah mempunyai hasrat seksual, katakanlah sejak 12 tahun harus menahan 18 tahun (saya menikah usia 30 tahun) selibat tanpa boleh melakukan hubungan intim sama sekali. Dan 18 tahun itu pun dilalui dalam pengaruh budaya seks bebas film-film Hollywood, Mall, kolam renang, sekolah di sekolah mayoritas wanita, dan rok mini di lingkungan kantor.
Tak heran kalau dalam benak saya (dan mungkin dalam benak banyak pria) pernikahan itu identik dengan SIM (Surat Ijin ML). Saya mengharapkan mendapatkan pasangan yang cuantiikkk dan seksi semlohai, untuk dapat melakukan hubungan intim sesering mungkin. Bukankah selama ini saya sudah “berkorban” bertahan bertarak selama 18 tahun, boleh dong mendapatkan pahala yang setimpal.
Tapi kenyataan memang berkata lain. Pernikahan ternyata bukan SIM Surat Ijin ML, tetapi SIM BCD: Surat Ijin Melayani sepenuhnya, Berjuang untuk Cinta dan Dedikasi, dan SIM2: Sampai Maut Memisahkan.
Saya tidak menikahi seorang supermodel yang aduhai. Saya tidak menikahi robot seks yang selalu ready bercinta setiap saat, dan juga bukan menikahi film porno yang kalau bosan bisa tinggal ganti film. Saya menikahi seorang wanita biasa, seorang ibu rumah tangga yang terkadang melupakan sesuatu, ibu dari anak-anak biasa yang kadang juga kehabisan kesabaran, meskipun mempunyai telinga super yang suka mendengarkan saya bicara, tetapi bisa juga tertidur mendengarkan “kotbah” saya. Ia seorang wanita yang harus tidur 7 jam sehari, setiap 28 hari mengalami menstruasi, harus diet mati-matian dan berdandan untuk bisa tampil menarik. Benar-benar seorang manusia biasa, wanita pada umumnya.
Masalahnya bukan terletak pada siapa yang saya nikahi, masalahnya terletak dari harapan saya yang tidak realistis. Masalahnya terletak pada konsep pernikahan yang keliru.
Kalau saya saja pernah punya harapan yang keliru dalam pernikahan, saya yakin Anda juga punya. Adalah suatu anugerah kita dapat mengingat kembali ke belakang dan tersenyum memikirkan betapa lugunya (baca: lucu dan dungu) saya waktu dulu sebelum menikah, kemudian bersyukur bahwa kita telah berubah menjadi lebih baik.
Maka kalau pasangan Anda ada di dekat Anda, peluklah dia dan katakanlah, “saya bersyukur saya menikahi kamu“. Karena sekalipun dia tidak sempurna, demikian juga Anda.
Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.