Apa itu Open Marriage?

open marriage

Dikutip dari Urban Dictionary, open marriage adalah sebuah hubungan yang dimiliki pasangan yang sudah menikah namun memutuskan untuk membuka pernikahannya. Keduanya sepakat untuk mengizinkan pasangan mereka menjalin hubungan emosional, bahkan melakukan hubungan seksual dengan orang atau pasangan mereka yang lain. Suami atau istri sah mereka itu disebut dengan ‘pasangan utama’.

Dari definisi tersebut, open marriage dapat dikatakan sebagai pernikahan yang bebas, tanpa ikatan hubungan yang ekslusif, mirip dengan poliamori sekalipun tidak sama persis.

Baca juga: Pernikahan Kami Baik-baik Saja, Kenapa Dia Selingkuh?

Saya melihat open marriage ini pada prinsipnya adalah memisahkan relationship dengan legal dalam suatu pernikahan. Pernikahan akhirnya hanya dipandang sebagai suatu struktur masyarakat terkecil yang diikat secara hukum belaka, dan tidak lebih dari itu. Kalau ada keintiman dalam hubungan pernikahan, itu dipandang sebagai bonus saja, toh dalam open marriage relasi yang intim itu bisa dilakukan dengan siapa saja.

Menarik sekali dikatakan bahwa dalam suatu open marriage, hubungan dengan orang lain (bahkan sexual intercourse pun) tidak dipandang sebagai perselingkuhan. Definisi perselingkuhan berubah menjadi subjektif berdasarkan konsensus, tidak lagi berdasarkan norma, atau bahkan sekalipun jikalau misalnya salah satu pihak dalam open marriage itu akhirnya terluka akibat perselingkuhan tersebut.

Lepas dari baik atau buruk dan benar atau salah praktek seperti ini pertanyaannya selalu adalah mengapa.

Apa yang membuat pasangan memutuskan untuk melakukan open marriage?

Apakah tidak puasan seksual? Kesepian? Mindset kebebasan absolut? Merasa bahwa pernikahan adalah istilah yang sudah usang?

Saya yakin bahwa kita semua mengetahui bahwa monogami (hubungan ekslusif 1 pria – 1 wanita) merupakan norma umum yang berlaku secara sosial (bahkan termasuk di US) di mana-mana. Data statistik menunjukkan bahwa monogami sosial dilakukan oleh 89% manusia (data WHO), monogami genetik dilakukan oleh 98% manusia (studi di 6 budaya), dan monogami seksual dilakukan bahkan oleh 57% pria dan 85% wanita di Amerika Serikat.

Seseorang tidak pernah perlu melawan norma sosial jika ia TIDAK:

  1. Merasa kecewa dengan norma tersebut
  2. Memiliki keinginan yang tidak terpuaskan dengan norma tersebut

 

Kenyataannya memang institusi pernikahan sudah mengecewakan begitu banyak anak-anak melalui perselingkuhan, pertengkaran hebat orang tua, hubungan yang dingin dalam rumah tangga, dan lain-lain. Dan anak-anak yang sudah dilukai oleh perilaku orang tua mereka bertumbuh menjadi dewasa dan menyimpan kepahitan yang mendalam mengenai pernikahan.

Sebagian anak-anak yang bertumbuh menjadi dewasa itu tidak mampu melihat jalan keluar dari ketidaksetiaan yang dilakukan oleh salah satu orang tua mereka, melihat bahwa adalah suatu kenyataan manusia tidak dapat dipuaskan oleh hanya satu hubungan romantis saja.

Dan di era informasi dan globalisasi seperti sekarang ini, perilaku yang terlihat “menyenangkan” seperti ini menular. Jauh lebih mudah bagi kita mengadopsi budaya yang menyenangkan daripada budaya yang benar. Ini persis seperti cerita tentang burung beo yang suka memuji Tuhan yang disekandangkan dengan burung beo yang suka mengumpat dengan kata-kata kasar. Burung beo baik akan tertular mengatakan kata-kata kasar sama seperti burung beo yang suka mengumpat tadi.

Iming-iming dapat berhubungan romantis dan seksual yang sebebas-bebasnya tanpa ada konsekuensi, tapi tetap punya keturunan dan punya keluarga, kalau tidak ada nilai moral yang mencegahnya sungguh menggiurkan bukan?

Tetapi ini adalah fakta mengenai hubungan monogami dari riset berbagai sumber:

  1. Pasangan yang monogami hidup lebih lama (kurang lebih 10 tahun – riset dari Friedman et al; Berkman & Syme Lois Verbrugge)
  2. Pasangan yang monogami memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, mereka sembuh dari penyakit lebih cepat (riset dari Burman & Margolin)
  3. Mereka hidup lebih makmur (riset dari Steve Nock)
  4. Anak-anak mereka hidup lebih baik (Harvard Study)
  5. Dalam menghadapi ketakutan, otak mereka bereaksi lebih baik yaitu mereka mampu menghentikan sistem ketakutan mereka dan menghadapinya dengan lebih baik daripada orang yang tidak berkomitmen secara seksual/menikah (riset Jim Coan tentang peran pegangan tangan bagi pasangan yang menikah)

 

Untuk riset yang terakhir ini paling menarik. Orang yang berkomitmen dalam hubungan seksual (ekslusif yaitu dalam pernikahan monogami) ternyata saat menghadapi ketakutan, mereka berpegangan tangan dan otak mereka menghentikan sistem ketakutan itu lalu menghadapi ketakutan dengan lebih baik. Sedangkan bagi orang yang tidak menikah, walaupun hubungan mereka baik, hal ini tidak terjadi.

Kenapa orang memerlukan orang lain selain pasangan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan romantisnya? Tidak perlu rocket science untuk menjawabnya, karena jawabannya selalu adalah kesepian dan kepahitan. Baik itu yang disadari, maupun yang tidak disadari. Baik itu akibat dari pasangan sahnya, maupun itu akibat dari masa lalunya.

Bagaimana pendapat Anda?