3 Penyebab Hilangnya Cinta Setelah Bertahun-Tahun Menjalani Hubungan

cinta yang hilang

Seperti yang seringkali sudah saya jelaskan dalam artikel, vlog maupun di seminar-seminar: hubungan percintaan antara dua sejoli adalah seperti tabungan cinta. Segala interaksi positif yang terjadi akan menambah saldo akun tabungan cinta kita. Sedangkan segala interaksi negatif akan menguranginya, bahkan sampai negatif. Seperti tabungan di bank, tabungan cinta juga butuh selalu ditambahkan supaya tidak makin lama makin habis kena “biaya adm”. Karena tabungan cinta ternyata kalau “tidak diapa-apakan” pun lambat laun pastilah akan habis juga. Artinya kalau kita menjalankan hidup begitu saja dengan pasangan kita, taken for granted, itu bukanlah interaksi yang netral, itu adalah interaksi yang negatif.

Baca juga: Apa yang membuat seseorang tiba-tiba kehilangan rasa cinta pada pasangannya?

Untuk menabung cinta yang memadai di tabungan cinta, kita butuh: motivasi, waktu dan prioritas. Karena itu setidaknya ada 3 hal yang bisa membuat perasaan cinta hilang setelah bertahun-tahun menjalani hubungan, seperti dijelaskan di bawah ini.

3 Penyebab Rasa Cinta yang Hilang

Pertama adalah waktu hidup cinta romantis yang pendek. Saat seseorang jatuh cinta, apa yang terjadi dalam tubuh manusia sebenarnya adalah hormon “cinta” yang membanjiri otak dan menyebabkan perasaan tergila-gila, ingin selalu bersama dan merasa seperti di surga bila bersama si dia, termasuk tidak bosan-bosannya bercakap-cakap dengannya, serta ingin berpegangan dan memeluk pasangan. Ini adalah cinta romantis, cinta yang didorong oleh perasaan suka yang menggebu-gebu.

Masalahnya, setelah beberapa lama, antara 6 bulan sampai 3 tahun, maka hormon “cinta” ini akan kembali ke level normalnya di otak kita, sebaik apapun hubungan itu berjalan. Termasuk jika kita akhirnya menikah dengan kekasih kita, tetap saja hormon cinta itu tidak kembali lagi membanjiri otak kita. Inilah keterbatasan dari cinta romantis. Cinta yang menggebu-gebu itu umurnya sangat pendek. Seharusnya dalam kurun waktu cinta romantis yang masing hot, kedua sejoli bisa mengembangkan unsur lain dari cinta yaitu keintiman dan komitmen, barulah cinta itu bisa langgeng di dalam pasangan tersebut.

Namun tidak selalu itu yang terjadi. Seringkali hubungan yang terbentuk kurang diperdalam melalui hubungan persahabatan yang solid, atau kadang juga terlalu cepat intim secara fisik (misalnya waktu kencan banyak dihabiskan untuk ciuman sampai petting dan selanjutnya) sehingga mengurangi kesempatan untuk bisa membangun keintiman yang sesungguhnya yang didasari oleh pengenalan yang mendalam satu dengan yang lain.

Saat keduanya gagal mendalami hubungan cinta mereka dan hormon cinta sudah kembali normal, rasa cinta hanyalah menjadi nostalgia. Motivasi untuk menabung cinta jadi kurang atau bahkan nihil.

Kedua, lahirnya sang buah hati, si sulung. 67% pasangan mengalami penurunan yang signifikan dalam kepuasan hubungan setelah kelahiran anak pertama. Hadirnya anak membuat istri akan memprioritaskan anak daripada suami, waktu untuk menabung cinta juga menjadi sangat terbatas, karena anak butuh sang ibu 24/7 bahkan 25/8.

Ketiga, stres dalam kehidupan sehari-hari. Let’s face it, kita hidup di jaman stres. Sepertinya tidak ada orang yang mampu lolos dari genggaman kekuasaannya. Tuntutan karir, usaha, kenyamanan dan tekanan lingkungan seringkali membuat kita tertekan, baik disadari maupun tidak. Tekanan-tekanan itu seringkali membuat kita kehilangan prioritas dan waktu untuk menabung cinta.

Penyebab Pendukung Lainnya

Nah, ketiga hal di atas adalah 3 alasan utama yang membuat perasaan cinta itu padam setelah bertahun-tahun. Tetapi ini belum semuanya. Seringkali hal ini diperparah dengan ignorance kita. Tidak jarang banyak pria (dan juga wanita) yang menganggap “kalau sudah menikah ya mau apa lagi, masa terus romantis-romantisan, bucin, dll. Kita kan sudah sama-sama dewasa, sudah jadi orang tua, sudah bekerja saja, urus anak saja, jalani kehidupan seperti seharusnya”. Sayangnya semua manusia sebenarnya merindukan cinta dan kasih sayang, termasuk jika Anda salah satu yang menyangkalinya, justru orang yang paling memerlukannya. Dan setelah menikah, orang yang paling mampu untuk memenuhi kebutuhan cinta dan kasih sayang itu adalah pasangan kita. Bukan lagi sahabat kita, bukan lagi orang tua kita apalagi uang kita. Jadi cinta itu tidak bisa tidak harus selalu diprioritaskan dan mendapatkan waktu yang memadai.

Ketidakpedulian itu juga terlihat dari keengganan belajar mengenai hubungan pernikahan yang baik itu seperti apa dan bagaimana caranya. Lebih banyak orang yang masih merasa bahwa kelas pernikahan atau bimbingan pranikah itu sesuatu yang buang-buang waktu (dan uang). Padahal pendidikan pranikah yang memadai itu sudah terbukti mengurangi 31% potensi perceraian pada pasutri. Dan padahal untuk menikah tidak jarang pasangan menghabiskan seluruh tabungan (bahkan berhutang) hanya untuk 1 hari saja, tanpa memikirkan setelah hari H itu bagaimana?

Kita juga enggan mencari pertolongan saat masalah muncul. Padahal kalau masalah tidak terpecahkan, seringkali membawa 4 tanda kiamat ke dalam pernikahan (kritik, hinaan, defensif dan tembok, penjelasannya ada di sini: Belajar dari Kasus Perceraian Ahok – Vero, Inilah 4 Tanda Kiamat Pernikahan yang Harus Diwaspadai). Tidak jarang saya menemukan para ayah yang menganggap pergi ke konselor atau marriage coach adalah sesuatu yang sangat memalukan. Harga diri itu yang akhirnya menghancurkan pernikahan. Cinta yang sudah pudar masih bisa dipupuk, tetapi harga diri yang keliru dan cacat dapat mensabotase usaha untuk menyelamatkan pernikahan.

Dibutuhkan dua tangan untuk bertepuk tangan, dibutuhkan dua insan agar cinta berjalan. Karena itu teruslah menabung cinta, sebanyak mungkin dan sesering mungkin. Carilah pertolongan saat hubungan itu tidak menjadi lebih baik. Raihlah the great marriage dalam percintaan Anda. Salam pembelajar!

Bagaimana pendapat Anda?