
“Daffa demam sampai 38 derajat, gimana gw bisa kerja? Apa jadi full time mom aja ya? #galau #gaadasuster
Demikian status FaceBook dari Astuti (bukan nama sebenarnya), seorang wanita karir yang sukses dan memiliki seorang putri batita yang masih sangat membutuhkan ibunya.
Baca juga: How (NOT) To Be An INSTANT Parent
Tidak jarang sebenarnya kita membaca status FB yang serupa seperti di atas dari teman-teman dan kerabat kita yang menekuni profesi sebagai wanita karir, yang berjuang, berjerih lelah dengan keringat dan darah untuk menafkahi keluarganya. Mereka menemui dilema antara mencari uang atau menjadi ibu rumah tangga full time.
Jawaban terhadap pertanyaan ini seharusnya cukup mudah. Anak atau pekerjaan, manakah yang lebih utama?
Namun tak jarang ada banyak hal yang membuat pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Alasan Memilih Tetap Bekerja
Ayo para supermoms, kita bicara jujur. Hal apa yang membuat Anda memilih bekerja dan bukan menjadi ibu rumah tangga?
Saya mencoba mengumpulkan beberapa jawaban dari teman-teman saya dan juga dari berbagai forum:
- Pendapatan suami kurang. Alasan ini alasan yang klasik yang umum bagi para wanita karir. Selain memang mungkin karir sang suami tidak terlalu bersinar (belum bersinar) sehingga gajinya tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga, ada juga keluarga-keluarga yang suaminya disfungsi, jadi tidak mampu memberikan penghasilan yang layak bagi keluarganya.
- Sudah nyaman bekerja. Kalau tidak bekerja rasanya ada sesuatu yang kurang. Di rumah sang ibu bisa jadi stress, bosan dan merasa gairah hidupnya kurang. Sehingga akhirnya memutuskan untuk terus bekerja.
- Ingin pegang uang sendiri, tidak bergantung pada suami. Lepas dari memang ada wanita yang matre, terkadang para wanita tidak dimengerti oleh para suami bahwa mereka membutuhkan uang (kadang tidak sedikit) untuk dapat tampil modis, cantik dan menarik di mata suami. Sebagian suami jika sang istri minta uang untuk membeli baju baru atau asesoris baru, maka dianggap buang-buang uang. Atau ada juga kasus-kasus di mana sang suami tidak peduli dengan kebutuhan istri (bahkan terkadang juga tidak peduli dengan kebutuhan anak). Ini membuat para istri berusaha untuk hidup mandiri tanpa bergantung pada “uang jajan” dari suami.
- Aktualisasi diri/harga diri/lebih PD. Setiap orang pada akhirnya akan membutuhkan aktualisasi diri, demikian menurut piramida dari Abraham Marslow. Banyak wanita yang merasa memiliki pekerjaan merupakan aktualisasi diri, mereka jadi memiliki harga diri dan lebih PD, daripada kalau menjadi ibu rumah tangga. Banyak wanita yang menjadi ibu rumah tangga juga menjadi kurang PD waktu bertemu dengan teman-teman wanitanya yang menjadi wanita karir. Apalagi kalau di sosmed, para full time moms melihat foto-foto teman-teman mereka yang dulu kuliah sama-sama, jalan-jalan ke luar negri (dengan kantornya), rasanya di hati ini ada yang ngilu.
- Bosan di rumah. Para ibu RT yang mengurus anak dan suaminya full time, memang bisa jadi tingkat stressnya justru lebih tinggi dibandingkan kalau bekerja, mereka membutuhkan me time, waktu tanpa anak-anak dan keluarga. Di rumah juga kegiatan begitu terbatas, tidak banyak orang, sehingga bagi ibu-ibu bertipe sanguin yang populer, ibu-ibu yang suka sekali bergaul, akan sangat kesepian dan kebosanan kalau terus ada di rumah seharian. Akhirnya ibu-ibu ini pun kembali lagi bekerja full time.
- Persiapan jika sesuatu terjadi pada suami. Ada juga ibu-ibu yang berpikir panjang. Ia melihat teman-temannya ada yang ditinggal mati muda oleh suaminya, dan menjadi janda beranak yang pontang-panting berupaya untuk mendapatkan penghasilan demi kehidupan keluarga mereka setelah sang suami tiada. Supaya hal serupa tidak terjadi pada mereka, mereka memutuskan untuk bekerja, sebagai asuransi apabila sang suami terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
- Untuk biaya pendidikan anak. Biaya pendidikan swasta di Indonesia sudah sangat mahal, bahkan ada pasangan yang mengatakan bahwa biaya sekolah internasional di Indonesia lebih mahal daripada kalau kita menyekolahkan anak kita ke Jerman. Itu menyebabkan ibu-ibu tidak bisa berhenti bekerja, karena berhenti bekerja mungkin menyebabkan anak-anak mereka tidak bisa sekolah di sekolah terbaik lagi. Sebagai informasi biaya sekolah TK – SMA swasta yang menengah di Jakarta sudah melampaui 1 juta perbulan, dan di sekolah-sekolah nasional (non-internasional) favorit bisa mencapai 2 juta perbulannya. Biaya yang tidak mungkin dibayarkan oleh suami yang hanya penghasilan UMR di Jakarta (saat artikel ini ditulis sekitar 3 juta Rupiah).
Tentu kita bisa lagi mencari 101 alasan lain mengapa kita harus memilih bekerja dan bukan mengurus keluarga di rumah, namun seperti semua keputusan, setiap alasan harus kita teliti dengan seksama, apa betul memang demikian adanya? Dan apakah alasan itu cukup kuat untuk menjadi penyebab kita memilih mencari uang daripada anak?
Problema Ibu Bekerja
Ada banyak juga ibu yang memilih tidak bekerja (setidaknya tidak lagi full time) setelah memiliki anak. Sepasang suami istri pekerja akhirnya menyerah dan memutuskan istri tinggal dirumah mengasuh anak. Mereka tidak bisa lagi percaya kepada mbok atau suster untuk menjaga anak mereka. Suster yang mereka dapatkan yang pertama baik, tapi tidak bertahan lama. Suster berikutnya mahal tapi ketahuan bawa pacar ke rumah. Ada lagi suster yang asal cepet ngurusin anak sehingga makanan anak pun dimakannya saat sang anak susah makan. Yang terakhir bikin mereka kapok: suster mereka membuat rumah kebakaran dan hampir saja nyawa anak mereka melayang!
Ini merupakan salah satu dari banyak kasus yang terjadi dengan menggantikan peran ibu oleh pihak ketiga. Digantikan oleh orang tua kita pun ternyata tidak kalah ada masalahnya juga, yaitu orang tua kita punya pola pendidikan yang tidak update lagi, dan tanggung jawab mereka pada cucu tidak lagi sebesar tanggung jawab waktu mereka membesarkan anaknya dulu. Mereka lebih memanjakan dan menyenangkan hati cucunya. Ini bukankah hal yang buruk bagi perkembangan mereka?
Kebutuhan anak
Kita tidak perlu berdebat untuk menyepakati bahwa seorang anak tidak hanya membutuhkan kebutuhan fisik saja. Abraham Marslow, tokoh psikolog yang baru saja kita sebut namanya, juga memaparkan manusia membutuhkan 5 hal secara berurutan:
- Kebutuhan biologis dan fisik
- Keamanan
- Kebutuhan akan cinta dan memiliki
- Harga diri
- Aktualisasi diri
Saat seorang anak tercukupi kebutuhan biologis dan fisiknya (sandang, pangan, papan), maka ia akan membutuhkan rasa aman. Rasa aman ini bukan hanya rasa aman secara fisik, tetapi rasa aman secara psikologis. Menurut teori attachment, seorang anak membutuhkan orang tuanya sebagai safe haven (tempat aman) baginya. Rasa aman ini diperoleh saat orang tua hadir secara fisik maupun secara emosi untuk anaknya. Itulah sebabnya seorang anak secara natural akan menangis, marah, tidak bisa diam saat orang tua meninggalkan mereka. Ini dikarenakan alarm mereka terpicu, mereka tidak merasa aman.
seorang anak membutuhkan orang tuanya sebagai safe haven (tempat aman) baginya
Saat seorang anak tidak mendapatkan safe haven itu dari orang tuanya, maka ia akan mencari orang lain yang dapat menggantikan orang tuanya menjadi safe haven baginya. Dan bila memang ada yang bisa menggantikan orang tua untuk menjadi safe haven bagi anak, misalnya suster atau mbak atau kakek/neneknya, maka sang anak akan memiliki ikatan yang kuat dengan “peran pengganti” tersebut. Mereka menjadi “ayah” dan “ibu” bagi anak-anak itu.
Karena itu tidak aneh saat mendengar ada anak yang malam-malam menangis dan menjerit-jerit karena susternya sudah pulang. Anak-anak yang menolak disuapi ibunya, lebih memilih mbaknya, atau anak-anak yang ingin ikut susternya yang pulang kampung. Mereka lebih nyaman dengan suster/mbaknya daripada bersama ibu dan ayahnya.
Attachment kepada orang tua/inang pengasuhnya ini menentukan sekali bagaimana ia membina hubungan dengan orang lain di sepanjang hidupnya kelak, termasuk bagaimana ia bersahabat, dan menjalin cinta dengan pasangannya. Pada akhirnya kepahitan dari hubungan yang buruk dengan orang tua juga memberikan dampak pada bagaimana cara ia memperlakukan keturunannya kelak.
Mana yang Lebih Prioritas?
Saya berkenalan dan berteman dengan banyak sekali ibu karir. Beberapa dari mereka adalah seorang ibu yang super menurut saya, karena mereka walaupun bekerja full time, tetapi tetap menerima tanggung jawab sebagai manajer rumah dan melakukannya dengan baik. Banyak dari mereka yang terpaksa bekerja karena kondisi keuangan yang sulit, ada yang terjerat hutang, suami tidak punya keahlian, menderita kelumpuhan, termasuk ada yang suaminya brengsek karena tidak peduli dengan keluarganya yang tadi sudah saya sebutkan.
Tetapi saya tidak bisa menutup mata bahwa sebagian lagi bekerja demi kenyamanan hidup, gaya hidup yang mewah, seakan-akan kehidupan yang baik itu hanya dapat dicapai dengan keunggulan finansial, bahkan walaupun mereka memiliki suami yang sudah punya penghasilan yang sangat besar.
Pertanyaannya adalah mana yang lebih prioritas? Kebutuhan anak atau kenyamanan dan harga diri Ibu?
Kapan Cukup itu Benar-Benar Cukup?
“Gua sih gak minta kaya ke Tuhan, Den,” kata seorang teman, berkelakar kepada saya. “Gua cuman minta supaya Tuhan memberi kecukupan sama gua. Cukup itu kalau butuh duit… ada duit. Kalau anak butuh sekolah… bisa sekolah. Kalau butuh mobil… ada duit buat beli mobil… kalau pengen jalan-jalan… ada duit buat tamasya ke Las Vegas… heheheh.”
Atau ada juga teman yang belum juga menikah mengatakan hal ini, “gua mah kagak muluk-muluk-lah minta jodo sama Tuhan…. Asal berkepribadian aja dah….. mobil PRIBADI, rumah PRIBADI, vila PRIBADI, kolam renang PRIBADI….”
Definisi cukup itu sangat subjektif, karena manusia cenderung tidak pernah cukup dengan apa yang dimilikinya. Masalahnya manusia sangat suka dengan kenyamanan, dan saat ini ada 1001 barang maupun layanan yang diciptakan untuk bisa membuat manusia lebih nyaman. Contohnya, untuk masalah makan saja, kita bisa memilih makanan dari yang 10 ribu yang enak, tapi juga bisa hingga 2 juta rupiah per porsi yang rasanya juga enak. Kita akan terus berusaha semaksimal kita mencapai tingkat kenyamanan yang bisa kita raih dengan penghasilan kita, atau bahkan yang melebihi penghasilan kita.
Dulu kita nyaman menggunakan kasur busa, tapi setelah punya uang kita akan membeli kasur pegas, sekarang setelah kita kaya mungkin tidak bisa tidur di kasur selain kasur memory foam. Kita menganggap bahwa tidur di kasur memory foam baru merupakan tidur yang “cukup” bagi kita. Kita akan terus menaikkan standar hidup kita berdasarkan kemampuan maupun pergaulan sosial kita.
Maka tepatlah pepatah kuno yang bijaksana yang mengatakan, “Cukupkanlah dirimu dengan segala apa yang ada padamu”. Ini memungkinkan jalan bagi kita untuk benar-benar merasa “cukup”.
Pandangan Pembelajar Hidup Mengenai Pendidikan Anak
Kami seperti banyak pasangan lain mempunyai pandangan bahwa seorang anak BERHAK dan WAJIB diasuh oleh orang tuanya sendiri. Hal ini harus dipandang bukan sebagai beban, tetapi sebagai hak istimewa (privilege) yang Tuhan berikan kepada kita sebagai orang tua, untuk melihat dan menyaksikan mahluk kecil yang sangat istimewa itu bertumbuh. Untuk menjalankan peran yang sangat penting dalam hidup sang anak dari bayi mungil sampai menjadi seseorang yang kuat dan mandiri dan berguna bagi sesamanya. Tidak ada orang yang memberikan pengaruh bagi anak yang lebih besar daripada orang tua.
Sebegitu besarnya peran ini, sehingga selayaknyalah peran tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak lain mana pun, termasuk kakek – nenek, ibu/bapak guru, apalagi suster atau mbak. Terkecuali ada suatu keadaan yang mendesak seperti orang tua yang lumpuh atau meninggal dunia, atau dalam kondisi perang, tidak semestinya peran tersebut diambil oleh orang lain.
Pendidik anak yang dari Inggris yang menyumbangkan standar pendidikan anak di negri tersebut, yaitu Charlotte Mason berkata, “Seorang anak berhak mendapatkan waktu terbaik dari ibunya.” Saya setuju sekali.
Seorang anak berhak mendapatkan waktu terbaik dari ibunya – Charlotte Mason
Bukan Hanya Tugas Ibu
Tetapi salah besar jika kita menganggap tugas mendidik anak adalah tugas ibu semata. Kita harus menyadari bahwa pada waktu manusia belum masuk ke era revolusi industri (yang membuat kaum pria meninggalkan keluarganya dan menjadi buruh/karyawan di pabrik/tempat kerja), pria dan wanita sama-sama bekerja, dan keduanya sama-sama mendidik anak mereka di rumah.
Pada masa itu suami istri bahu-membahu bekerja di ladang, beternak dan bercocok tanam. Mereka bekerja dan anak-anak menikmati ikut bersama orang tua mereka, bahkan membantu pekerjaan orang tua mereka.
Tugas mendidik anak tidak pernah menjadi tugas seorang ibu sendiri. Isu yang muncul mengenai haruskah seorang ibu resign dan menjadi full time moms, adalah isu yang muncul setelah para pria bekerja setiap hari dari jam 8 – 5 sore, dan setelah kaum wanita juga turun ke dunia kerja yang sama, akibat tekanan kebutuhan hidup yang semakin menekan keluarga pada umumnya.
Jadi Harus Bagaimana?
- Bagi Anda, para ibu yang merupakan single moms, atau memiliki suami yang tidak mampu mendapatkan penghasilan, maka saya ingin menguatkan lutut para ibu ini. Anda tidak melakukan hal ini dengan meninggalkan tanggung jawab kepada suami dan anak Anda. Anda tidak mempunyai pilihan lain selain bekerja untuk kehidupan keluarga. Jangan merasa bersalah dan tidak perlu kuatir, karena beberapa penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak mampu mengerti keadaan keluarga mereka dan mereka juga akan mampu beradaptasi dengan kondisi seperti ini.
- Bagi Anda, para ibu yang tidak terpaksa untuk bekerja (suami Anda sebenarnya sudah memiliki pekerjaan yang layak dan dapat mencukupi keluarga Anda), Anak Anda memerlukan Anda!. Anda dapat memperoleh aktualisasi diri melalui kegiatan lain yang tidak memakan waktu 8 jam sehari, misalnya kegiatan sosial, keagamaan (misalnya pelayanan di gereja/vihara), atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya insidentil (misalnya mengkoordinir acara ke panti asuhan pada saat liburan anak)
- Terakhir, bagi Anda para ibu yang galau karena tidak yakin apakah penghasilan suami Anda cukup memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan anak Anda membutuhkan Anda, maka Anda dapat mengambil langkah langkah di bawah ini:
- Tetapkan dalam pikiran Anda bahwa pekerjaan ini adalah kondisi sementara, bahwa Anda harus mencari cara agar anak Anda dapat anda asuh dan didik sendiri.
- Apabila sudah diperhitungkan bahwa penghasilan suami tidak cukup, maka pertama-tama adalah tugas suami untuk memutar otak dan mengusahakan bagaimana pun caranya agar kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Ini adalah tugas utama seorang pria yang diberi peran oleh Tuhan untuk melindungi dan memberi rasa aman kepada keluarganya, baik secara fisik, maupun secara finasial.
- Tetapi apabila sudah diusahakan bagaimana pun mentok, penghasilan suami tetap tidak mencukupi, maka Anda perlu memikirkan untuk memulai usaha/pekerjaan yang fleksibel, misalnya menjalankan usaha sampingan ibu rumah tangga di rumah. Bisnis online misalnya dapat menjadi pilihan bagi para ibu yang termasuk kategori ini.
Coaching Membantu Anda Mengambil Keputusan yang Tepat
Sebagai penutup, ijinkan saya sebagai coach Anda membantu Anda mengambil keputusan dengan menggunakan 4 pertanyaan Cartesian yang sangat powerful:
- Apa yang akan terjadi apabila Anda memutuskan resign dan menjadi full time mom?
- Apa yang akan terjadi apabila Anda memutuskan untuk tetap bekerja?
- Apa yang tidak akan terjadi apabila Anda memutuskan untuk resign dan menjadi ibu rumah tangga?
- Apa yang tidak akan terjadi apabila Anda memutuskan untuk tetap bekerja?

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.