7 Masalah Pernikahan yang Berasal dari Diri Sendiri (2)

berasumsi negatif

 

Dalam membina rumah tangga, tidak jarang kita berpikir bahwa pasangan kita adalah sumber masalahnya, tapi terkadang justru sumber masalahnya adalah diri kita sendiri. Artikel ini membahas 3 masalah pernikahan yang berasal dari diri sendiri sebagai lanjutan dari bagian pertama sebelumnya.

Baca juga: 7 Masalah Pernikahan yang Berasal dari Diri Sendiri (1)

Preoccupied

Preoccupied maksudnya seseorang yang terbiasa menuruti asumsinya sendiri dalam berhubungan dengan orang lain. Asumsi adalah salah satu musuh dari relasi, karena asumsi mematikan komunikasi kita dengan orang lain, dengan anggapan bahwa kita sudah mengetahuinya sehingga tidak perlu ditanyakan kembali.

Seorang wanita pergi makan malam bersama suami dan teman pria yang lain. Di restoran, wanita ini sebut saja Fifi, merasa bahwa teman prianya sering memperhatikan dia. Waktu berkendaraan pulang ke rumah bersama suaminya, suaminya diam saja tidak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Ia berasumsi bahwa suaminya pasti marah karena teman prianya itu memperhatikan dirinya. Tetapi ia tidak membicarakannya sama sekali dengan suaminya itu. Ia malah marah karena merasa “apa salah saya, toh saya tidak genit dan memberi sinyal mengundang pada teman pria saya itu”. Akibatnya mereka tidak bicara sama sekali sampai keesokan harinya.

Sayang sekali sebenarnya, karena momen setelah dinner itu sebenarnya dapat digunakan justru untuk saling mengenal lebih jauh lagi, apa yang membuat suaminya kesal dan dapat mencegah kembali terjadinya hal yang serupa. Tetapi karena mereka tidak membicarakannya, malah saling berasumsi satu dengan yang lain, mereka malah menarik diri, interaksi menjadi negatif dan tabungan cinta harus dikeluarkan.

Asumsi memang sering terjadi karena komunikasi yang tidak lancar. Terlalu sering komunikasi yang tidak lancar membuat preoccupied terjadi. Teknik percakapan PASANGAN dapat digunakan untuk membantu pasangan saling membicarakan mengenai masalah apa yang mengganggu mereka dan mengurangi asumsi yang terjadi.

 

Insecurity

Insecurity adalah rasa tidak aman yang tidak sehat. Kita memang wajib merasa tidak aman apabila pasangan kita memang tidak dapat dipercaya. Tetapi banyak kasus yang menunjukkan adanya rasa tidak aman yang dimiliki meskipun pasangannya tidak bermasalah.

Menurut teori attachment (kelekatan), manusia mengembangkan jenis attachment yang berbeda-beda berdasarkan bagaimana hubungan kita dengan pengasuh utama kita pada waktu kecil. Kalau pengasuh utama kita itu selalu hadir secara emosi, dapat dipercaya dan responsif terhadap kebutuhan kita, maka kita akan mengembangkan gaya kelekatan yang sehat (secure). Tetapi bila sebaliknya, kita akan mengembangkan gaya kelekatan yang kurang sehat (insecure). Hal ini akan terbawa terus sampai kita menikah.

Pada saat hubungan kita dan pasangan kita menjauh, kita akan secara otomatis menunjukkan emosi dan tingkah laku untuk bisa mengembalikan kedekatan dan respon dari pasangan kita. Namun emosi dan tingkah laku kita tersebut tergantung pada gaya kelekatan kita.

diskusi pasutri

Ada 4 gaya attachment yang diadaptasi dalam pernikahan (Hart & Morris, 2003):

  1. Secure (aman). Seorang yang memiliki jenis attachment ini terhubung dengan pasangannya dengan kepastian. Ia merasa nyaman dengan kedekatan, melihat dirinya sebagai orang yang layak dikasihi. Saat pasangannya menjauh, ia tidak serta-merta menunjukkan emosi negatif, tetapi percaya bahwa pasangannya akan kembali lagi hadir bersamanya. Ia percaya bahwa pasangannya bersedia dan mampu mencintainya.
  2. Anxious (gelisah). Ia tidak merasa yakin dengan pasangannya (terlepas dari apakah benar memang pasangannya tidak dapat dipercaya). Ia menuntut adanya kedekatan terus-menerus dan gelisah jika orang yang terkasih sekejap saja terdiskoneksi. Ia seringkali merasakan emosi yang jungkir balik, merasa dekat dan aman, tetapi kemudian marah, sedih, gelisah. Seringkali ia juga ingin nempel terus kepada pasangannya (bahkan mungkin bisa mengganggu kegiatannya). Ia merasa tidak aman dan berpikir bahwa pasangannya mampu hadir bersamanya, tetapi mungkin mengabaikannya karena kesalahannya sendiri.
  3. Avoidant (menghindar). Ia berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan pasangannya. Ia tidak merasa nyaman dengan kedekatan dan merasa tidak membutuhkan orang lain. Saat pasangannya menjauh, ia tidak menunjukkan emosi ataupun tingkah laku tertentu, tetapi tetap dingin. Ia berpikir bahwa orang lain mungkin tidak bersedia dan mampu memberikan yang ia butuhkan, tetapi tidak masalah karena ia tidak membutuhkannya.
  4. Fearful (takut). Jenis attachment ini takut dengan kedekatan dengan pasangan. Ia ingin dekat dengan pasangannya dan takut diabaikan, tetapi kedekatan itu baginya berarti akan merasakan derita dan kesakitan. Ia berpikir bahwa orang lain tidak dapat dipercaya dan tidak mampu mencintai dirinya. Ia menunjukkan emosi yang berganti-gantian antara berusaha untuk dekat dengan pasangannya, dan kemudian mendorong pasangannya untuk menjauh darinya.

Perasaan tidak aman yang dimiliki oleh gaya gelisah, menghindar dan takut adalah sumber konflik dengan pasangannya. Untuk mengatasi masalah ini, orang yang mengembangkan gaya attachment yang tidak sehat disarankan untuk datang ke konselor atau psikolog untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Tetapi untuk pasangannya, perlu pengertian dan melakukan tindakan-tindakan yang meyakinkan suami/istrinya bahwa ia: dapat dipercaya, available (tersedia) secara emosi, dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhannya.

Unfinished Business

Keluarga kita yang tidak sempurna menyisakan kebutuhan-kebutuhan kita yang tidak terpenuhi hingga kita meninggalkan keluarga asal kita dalam pernikahan. Ini disebut dengan unfinished business.

Tanpa sadar kita meninginkan agar kebutuhan-kebutuhan itu terjawab saat kita menikah. Kita ingin agar pasangan kita mampu menjawab kerinduan-kerinduan yang tidak bisa dipenuhi oleh orang tua kita. Ini menjadi sumber konflik karena pasangan kita juga ternyata tidak sempurna. Dan ia juga menuntut kita menjawab kebutuhan-kebutuhannya yang juga tidak terpenuhi dalam keluarga asalnya.

Ada setidaknya ada 4 kategori kebutuhan yang mungkin tidak terpenuhi dalam keluarga asal kita yaitu (Parrott & Parrott, Saving Your Marriage Before It Starts: Workbook for Men, 2015):

  1. Kebutuhan akan dukungan, misalnya: kurang didukung dalam mengejar cita-citanya (mungkin orang tuanya ingin dia menjadi dokter, padahal ia ingin menjadi seniman)
  2. Kebutuhan akan pujian, misalnya: sewaktu kecil tidak pernah dipuji sekalipun berkali-kali meraih prestasi rangking di sekolah
  3. Kebutuhan untuk didengarkan, misalnya: merasa orang tua tidak punya waktu untuk mendengarkan masalahnya
  4. Kebutuhan akan kesenangan, misalnya: merasa orang tua tidak memberikan kesempatan untuk bersantai

 

Jika Anda merasakan kebutuhan-kebutuhan tersebut memang tidak Anda dapatkan dari keluarga asal Anda, mungkin ini adalah saatnya bagi Anda dan pasangan Anda untuk duduk bersama dan saling berbagi akan hasrat-hasrat dan kerinduan yang tidak terpenuhi tersebut.

Itulah 7 masalah pernikahan yang berasal dari diri sendiri. Akhir kata saya ingin memberikan semangat bagi Anda para pejuang-pejuang cinta:

     Makan kuah-kuahan, paling enak bakwan Semarang,

Berjuang untuk pernikahan, nikmat Surga terasa sekarang.

 

Salam Pembelajar.

Bagaimana pendapat Anda?