
Seorang pria yang baru saja menikah pergi ke rumah dokter THT untuk konsultasi. Ia mengira Istrinya akan menjadi tuli, karena setiap kali di panggil Istrinya tidak menyahut.
Dokter: “Coba nanti waktu kamu pulang, sekitar jarak lima meter dari Istrimu, kamu panggil dia!”
Suami: “Bagaimana kalau Istriku tidak menyahut, apakah dia tuli?”
Istri: “Oh belum, kalau Istrimu belum menyahut dalam jarak lima meter, kamu lebih mendekat lagi menjadi tiga meter.”
Suami: “Bagaimana kalau masih belum menyahut lagi?”
Dokter: “OK, kamu mendekat lagi menjadi satu meter, nanti kalau dia enggak menyahut juga, berarti Istrimu kemungkinan tuli.”
Lalu akhirnya si suami pulang ke rumah untuk mempraktekan hal tersebut. Pas sampai di rumah, dia melihat Istrinya sedang asyik memasak di dapur. Lalu sekitar jarak lima meter dari Istrinya,
Suami: “Hai, sayang, sedang masak apa kau?”
Istri: (Tetap saja asyik memasak).
Suami: (Mulai curiga, lalu dia mendekat ke jarak tiga meter) “Hai sayang, sedang masak apa kau?”
Istri: (Masih tetap tidak menengok dan asyik memasak).
Suami: (Benar-benar kesal, dia maju sampai jarak satu meter dari Istrinya, lalu berteriak) “HAI SAYANGKU, SEDANG MASAK APA KAU??”
Istri: (Berbalik sambil melotot) “KAMU INI KENAPA SIH! SUDAH TIGA KALI AKU BILANG SEDANG MASAK PISANG GORENG, KAU MASIH JUGA TANYA!”
(anonim)
Baca juga: 5 Tantangan Menikahi Wanita yang Jauh Lebih Tua
Sobat pembelajar, dalam membina rumah tangga, tidak jarang kita berpikir bahwa pasangan kita adalah sumber masalahnya, tapi terkadang justru sumber masalahnya adalah diri kita sendiri. Karena itu dalam memperbaiki pernikahan kita, kita harus selalu dimulai dari diri kita sendiri. Perbaikan tidak akan pernah terjadi jika kita selalu menuntut pasangan kita untuk berubah terlebih dahulu.
Setidaknya ada 7 problem yang berasal dari diri kita sendiri yang berpotensi menjadi sumber konflik dalam rumah tangga, yaitu:
- Workaholik
- Abusive
- Perfeksionis
- Egois
- Preoccupied
- Insecure
- Unfinished Business
Workaholik
Workaholik adalah kecanduan kerja. Seseorang yang workaholik terobsesi dengan pekerjaannya sehingga bisa melupakan hal-hal lain selain pekerjaannya. Ini menyebabkan ia kehilangan kehidupan pribadinya, termasuk dengan suami/istrinya. Perlu diketahui bahwa workaholik bukan hanya orang yang menghabiskan waktu yang sangat banyak untuk bekerja saja, tetapi sebutan ini juga berlaku untuk orang yang melakukan olah raga, hobi, atau kesenian atau bahkan ibadah/pelayanan hingga melupakan keluarga maupun relasi sosial lainnya.
Seorang workaholik perlu kembali menyeimbangkan kehidupannya. Sebagai Life coach, kami biasanya membantu seorang workaholik dengan menggunakan alat bantu Roda kehidupan (daftar di sini untuk mendapatkan layanan coaching Work-Life Balance) Namun bila di balik workaholiknya ada kebutuhan yang tidak dipenuhi di rumah, seperti harga diri, respek, keamanan dan kenyamanan, maka konseling pasangan dapat menolong.
Abusive
Abusive adalah memperlakukan orang lain dengan kekerasan fisik ataupun verbal. Perilaku abusive adalah BIG NO NO dalam sebuah pernikahan. Pelaku kekerasan fisik atau dalam bahasa kerennya KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dapat ditangkap dan diadili karena melanggar hukum. Tidak mungkin ada kedamaian dalam rumah tangga bila salah seorang dari pasangan abusive. Maka apabila Anda mulai menggunakan menampar atau melakukan serangan fisik terhadap pasangan (termasuk memaksa melakukan hubungan seksual), harus secepatnya dihentikan.
Ada kasus-kasus di mana suami sering memukuli istri, dan setelah dipukuli suami akan memohon-mohon ampun pada istrinya dan mengatakan bahwa itu khilaf. Tetapi hal ini terus terjadi berulang kali. Bila Anda adalah seseorang yang seperti ini, pria ataupun wanita, sebaiknya dapat segera datang ke psikolog atau konselor untuk melakukan terapi.
Perfeksionis
Perfeksionis biasanya merupakan bawaan dari seorang yang memiliki kepribadian Melankolik. Jadi sebenarnya perfeksionis adalah suatu sifat yang wajar dan tidak menjadi suatu masalah. Perfeksionis menjadi problem apabila kesempurnaan yang diinginkan itu tanpa toleransi harus dicapai termasuk oleh pasangannya (yang belum tentu punya sifat yang sama).
Saya adalah seorang yang sangat perfeksionis. Karena saya bertahun-tahun selalu mencuci baju dan menyetrikanya sendiri, maka saya menjadi sangat ahli dalam menyetrika pakaian dengan sempurna. Khususnya kemeja. Dalam menyetrika kemeja saya menyetrika bagian punggung terlebih dahulu (dalam kondisi tidak dikancingkan), kemudian bagian lengan. Setelah itu saya menyetrika bagian kerah dengan menyetrika bagian dalam yang tidak pernah kelihatan dari luar. Bagi saya ini penting karena menyetrika kerah di bagian luar akan mengakibatkan kerah kemeja berkilat dan terlihat kurang cakep. Terakhir saya mengancingkan kemeja itu selang-seling dan menyetrika bagian dada.
Waktu saya menikah dengan istri saya, ia bukan orang yang perfeksionis seperti saya. Bagi dia, menyetrika yang penting terlihat rapi. Ia tidak mementingkan kesempurnaan kemeja saya seperti saya. Ini adalah potensi konflik dalam rumah tangga kami. Pertama saya melihat hasil setrikaannya, ada sedikit kekecewaan dalam diri saya. Tetapi saya belajar untuk memahami bahwa ia tidak sama seperti saya. Maka saya pun mengajari dia cara menyetrika yang sempurna, tetapi saya tidak pernah menuntut dia untuk 100% menyetrika sama seperti saya.
Lain halnya jika saya menuntut istri saya melakukan hal itu dengan ketepatan yang tinggi. Dapat dibayangkan betapa stresnya istri saya berupaya memenuhi kesempurnaan yang saya tuntut.
Bila Anda adalah seorang perfeksionis, kita perlu menyadari bahwa orang lain tidak seperfeksionis kita. Anda boleh memilih beberapa hal yang krusial (seperti pendidikan anak, memilih rumah, dll) yang harus 100% tepat sesuai dengan perfeksionisnya Anda, tetapi Anda perlu menoleransi berbagai hal lain yang tidak sepenting itu.
Egoisme
Egoisme adalah suatu sikap yang menghancurkan setiap hubungan apa pun. Pernikahan seyogyanya berarti merelakan sebagian dari kebebasan dan kenyamanan kita untuk orang yang kita cintai. Namun terkadang hidup pernikahan tidak seindah itu. Kita semua pasti memiliki kadar egois, walaupun kecil.
Egoisme menjadi masalah saat apa yang kita inginkan berbenturan dengan apa yang diinginkan pasangan kita, dan kita tetap memilih menjalankan yang kita inginkan sekalipun pasangan kita terluka. Contohnya, seorang suami yang tetap memilih untuk main game di hari libur tanpa memikirkan istri dan anaknya yang menantikan ingin diajak jalan-jalan setelah lama tidak ada waktu keluarga. Atau seorang istri yang tetap memilih untuk pergi arisan dengan teman-temannya sekalipun suaminya/anaknya sakit.
Sikap egois dapat terjadi ketika seseorang belajar bahwa dia tidak dapat mengandalkan orang lain untuk apa yang diinginkannya, ketika ia belajar bahwa ia harus mengusahakan segalanya sendiri untuk meraih apa yang diinginkannya, ia tidak belajar bekerjasama atau belajar take and give.
Untuk masalah ini sebaiknya dibicarakan dengan pasangan hal apa yang dirasakan egois bagi pasangannya dan apa yang menyebabkannya melakukan hal tersebut.
(Bersambung pada post berikutnya)

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.