5 Penyebab Konflik Mertua Menantu

momen haru pernikahan

Konflik antara mertua dan menantu adalah hal yang banyak dialami oleh pasangan-pasangan, khususnya kita di Indonesia dengan budaya kekerabatan yang erat (walau dalam beberapa hal termasuk kategori kepo) dan masih banyaknya pasutri yang memilih tinggal di RMI (rumah mertua indah) karena pertimbangan faktor ekonomi dan anak. Dan populasi orang-orang yang mengalami konflik mertua-menantu ini didominasi oleh konflik antara mertua perempuan dengan menantu perempuannya.

Baca juga: 4 Tips Menengahi Konflik Mertua dan Menantu

Saya menemukan setidaknya ada 5 hal yang dapat memicu pertengkaran keluarga antara mertua dan menantu ini, yaitu:

  1. Heran
  2. Hilang
  3. Harapan
  4. Habit
  5. Heritage

 

Heran: Ketidakpuasan Orang Tua akan Pilihan Anak

“Heran ya, kenapa dia memilih si Ani, padahal kita pikir dia lebih cocok sama Jenifer,” ujar seorang ibu kepada suaminya. Mereka sedang membicarakan si sulung yang baru saja mengutarakan akan menikahi Ani, sang kekasih hatinya. Walau sebelumnya ia menjalin hubungan cinta dengan Jenifer, tetapi itu sudah masa lalunya, dan sekarang ia ingin meminang Ani sebagai istrinya.

Kejadian seperti di atas sangat familiar bagi kita bukan? Orang tua yang punya sudut pandang yang berbeda tentu saja mempunyai pendapat yang berbeda dengan anaknya. Tetapi bagaimanapun yang akan menikah adalah anaknya, bukan dirinya, ia pun akhirnya mengijinkan sang anak menikahi pujaan hatinya.

Ketidakpuasan orang tua akan pilihan anak ini kadang dapat tersimpan di hati orang tua dan muncul sewaktu-waktu tatkala sang menantu melakukan kesalahan. Kadang kesalahan kecil bisa jadi besar, dan kesalahan besar bisa kembali membuat sang mertua mengingat-ingat “kekeliruan” yang dibuat anaknya saat memilih jodohnya itu. Kalau orang tua yang tidak tahan, akhirnya terucaplah kata-kata yang menyakitkan kepada anak ataupun menantunya.

Ketidakpuasan ini juga akan kerap kali muncul saat sang menantu, atau gagal menjadi menantu seperti yang diharapkan mertua.

 

Hilang: Orang Tua Kehilangan Anaknya Saat Mereka Menikah

Jika Anda sering mengikuti upacara pernikahan baik secara keagamaan maupun secara adat, maka adalah momen yang paling mengharukan saat sang ibu memeluk putra/putrinya yang menikah hari itu. Momen ini biasanya berderai air mata, baik dari sang ibu, sang putri yang akhirnya juga para undangan yang menyaksikan momen tersebut. Seorang ibu yang sudah melahirkan, bersusah payah membesarkan sang anak, akhirnya harus berpisah dan memberikan sang anak kepada pasangannya untuk kemudian dijaga dan dirawat oleh pasangannya seumur hidupnya. Ia menangis karena kehilangan anaknya.

Sering dikatakan bahwa seorang ayah akan kehilangan anak perempuan yang melihat sosoknya sebagai hero dalam hidupnya, sedangkan seorang ibu akan kehilangan anak lelaki yang sudah diurusnya dari kecil (karena anak lelaki tidak mampu mengurus dirinya sendiri, bahkan hingga dewasa). Saat seorang ayah kehilangan anak perempuannya, di dalam hatinya ia berkata, “Ini anak perempuanku yang sudah kujaga sejak dia lahir. Jaga dia baik-baik! Kalau engkau melukainya, AWAS KAU!” Dan saat seorang ibu kehilangan anak lelakinya, dalam hatinya ia berkata, “Ini anak lelakiku yang dari lahir sudah kususui dan kurawat, kuperhatikan kebutuhannya. Ia kumasakkan makanan kesukaannya, dan kuberikan baju bagus yang membuatnya ganteng. Rawat dia baik-baik! AWAS ya kalau kamu membuatnya kurus atau berpakaian lusuh!”

Kembali lagi saat sang menantu melakukan kesalahan, atau gagal melakukan salah satu hal (mungkin hal yang kecil) yang diharapkan sang mertua, rasa marah dan kesal muncul. “Aku tidak menyerahkan anakku untuk kau sakiti”, atau “Aku tidak menyerahkan anakku untuk terlunta-lunta seperti tidak punya istri”, dan terkadang hal tersebut hiperbolik karena orang tua yang sangat menghasihi anak, tidak mau anaknya terluka dan terlunta sedikit pun.

 

Harapan: Harapan Sang Mertua Tidak Terpenuhi

Kedua hal sebelumnya membawa kita kepada problem ini: harapan dari mertua yang tidak (atau lebih tepatnya sebenarnya “kurang”) terpenuhi dalam diri sang menantu. Dan harapan-harapan ini sering tidak terungkap, dan kalau terungkap kadang kala harapannya tidak realistis. Misalnya:

  • Dia harus selalu masak untuk anakku
  • Dia harus selalu menjemput anakku pulang kerja
  • Anakku seumur hidup tidak boleh pegang sapu
  • Anakku tidak boleh terluka (padahal dalam pernikahan konflik itu normal dan penting untuk hubungan mereka, walau dalam prosesnya salah seorang menjadi terluka)

 

Orang tua suka lupa bahwa menantu mereka masih amatiran, pengalaman berumah tangganya nihil waktu pertama kali menikah, sedangkan mereka (orang tua) sudah punya pengalaman minimal 20-30 tahun berumah tangga. Mereka juga lupa bahwa mereka dulu waktu awal menikah juga mengalami hal yang sama: menjadi suami atau istri yang amatiran.

 

Habit: Kebiasaan yang Berbeda

Ini khusus bagi pasutri yang tinggal di RMI (Rumah Mertua Indah) atau mertua yang ikut tinggal di rumah pasangan. Jangankan orang tua, suami/istri kita pun punya kebiasaan yang berbeda dengan kita yang terkadang membuat kita gemas dan kesal. Namun karena hubungan suami-istri relatif lebih intim, problem habit ini untuk suami-istri satu sama lain umumnya lebih bisa ditoleransi daripada habit orang tua yang tinggal serumah. Bayangkan mereka yang Gen X tinggal sama kita yang Gen Y atau Gen Z, dengan perbedaan yang menyolok, kebiasaan-kebiasaan mertua seringkali sulit diterima oleh menantu. Kalau anak, biasanya sudah terbiasa, tidak lagi mempermasalahkan habit orang tua mereka.

Habit yang menyangkut kebiasaan mengurus diri sendiri masih bisa ditoleransi, tetapi konflik biasanya mulai muncul saat si kecil lahir. Kebiasaan mendidik orang tua jauh berbeda dengan kita, ditambah lagi orang tua milenial masa kini sudah sarat dengan informasi dari berbagai sumber tentang bagaimana parenting yang baik, yang tentunya berbeda dengan cara jadul. “Mama membesarkan kamu dari dulu juga dengan cara seperti itu, toh kamu tetap jadi orang kan?” seringkali ucapan itu terlontar dari mertua yang menjaga cucu-cucu mereka.

Habit dalam mengurus anak kecil, selain karena generasi yang berbeda, sumber informasi yang berbeda, sering diperparah dengan tanggung jawab yang berbeda. Jaman dulu, mereka sebagai orang tua kita punya tanggung jawab penuh mendidik kita, tetapi rasa tanggung jawab sebesar itu yang dulu ada, kini sudah tidak ada lagi di pundak mereka. Toh tanggung jawab mendidik anak-anak kita sebenarnya sepenuhnya ada di pundak kita sebagai orang tua mereka, bukan di pundak kakek-nenek mereka. Kakek-nenek di masa tua mereka membutuhkan rasa kasih sayang baik dari anak maupun dari cucu, sehingga mereka akan sulit menerapkan disiplin sesuai standar yang dibutuhkan dalam pendidikan cucu mereka.

Tak heran, masalah anak makan permen pun bisa jadi konflik antara mertua dan menantu.

 

Heritage: Budaya Mertua dan Menantu yang Berbeda

Warisan budaya yang dipegang mertua dan menantu bisa berbeda khususnya bila terjadi pernikahan antar suku, etnis dan agama. Hal seperti ini menjadi sensitif, terutama jika terjadi pernikahan antara etnis yang sering terlibat konflik historis, misalnya etnis tionghoa dan etnis Indonesia asli yang sering disebut pribumi. Orang tua yang sudah mengalami kejadian 1966 di mana banyak etnis tionghoa yang dibantai karena dituduh PKI, kemudian konflik-konflik rasial lainnya yang berpuncak pada kerusuhan dan perkosaan massal di tahun 1998, menyimpan luka mendalam yang seringkali memperuncing dengan menganggap kaum pribumi sebagai penjahat. Padahal demikian juga sebaliknya, sangat banyak narasi yang beredar secara sosial akan kejahatan-kejahatan para konglomerat dan pengusaha tionghoa (sekalipun sebagian dari narasi itu memang benar demikian adanya, bahwa sebagian orang tionghoa memang brengsek, seperti Edi Tansil atau Djoko Tjandra, sama seperti banyak pengusaha non-tionghoa juga yang sama brengseknya). Ini membuat ras tionghoa juga dilabeli sebagai orang kaya yang jahat, perampok negara.

Dalam pernikahan, latar belakang tadi seringkali ada di bawah sadar orang tua/mertua yang berimbas saat sang menantu melakukan kesalahan. Atau bukan menantunya, tetapi keluarga besan yang melakukan kesalahan. Tidak jarang kesalahan yang dimaksud sebenarnya merupakan salah paham dan perbedaan budaya dan adat tentang norma sopan santun yang dijunjung tinggi oleh salah satu atau kedua keluarga.

 

Bagaimana Solusi Konflik Mertua Menantu?

Saya sering menjelaskan sebelumnya bahwa dalam menghadapi konflik mertua-menantu, yang paling penting bagi pasutri adalah stay on the same team. Anda dan pasangan Anda harus selalu dalam tim yang sama dalam menghadapi orang tua/menantu Anda. Inilah kunci keberhasilan rumah tangga Anda. Ini bukan berarti Anda harus membela istri Anda waktu istri Anda salah, tetapi Anda harus berada di tengah dan tidak membiarkan orang tua maupun Anda sendiri menghardik sang istri di depan mereka. Ingat bahwa istri/suami Anda sudah dewasa, sekalipun secara tingkat norma kesopanan masih di bawah orang tua, tetapi seorang dewasa tentu punya pertimbangan dan pemikiran yang patut dihargai.

Sekarang saya ingin berbicara dari sisi orang tua. Adalah perlu sekali menyadari bahwa setelah menikah, hubungan yang terpenting anak kita adalah sang anak dengan pasangannya, bukan lagi dengan kita sebagai orang tuanya. Ia harus membela pasangannya, ia harus selalu ada di sampingnya, bukan lagi di samping kita.

Kita sebagai orang tua harus selalu mencamkan bahwa anak kita bukanlah milik kita. Ia adalah milik Tuhan dan dirinya sendiri. Sejak ia lahir, ia hanyalah titipan Tuhan yang harus kita jaga dan kita pelihara sampai ia dewasa dan mandiri. Setelah menikah, kini adalah gilirannya untuk mengalahkan dunia. Melepaskan anak Anda dan mempercayakannya ke orang lain adalah keputusan tersulit dan sekaligus termulia bagi Anda.

Hargai setiap keputusannya karena dia sudah dewasa. Kalau ada sesuatu yang salah dan berdampak buruk, memang ia yang harus menanggung akibatnya, bukan Anda. Ia harus bertanggung jawab atas segala pilihan-pilihannya, bukan lagi orang tua dan dengan berpikir seperti itu, Anda membantu anak Anda menjadi seorang dewasa penuh yang berguna bagi masyarakat.

Satu-satunya masalah rumah tangga pada anak yang boleh diintervensi adalah kalau ia minta pertolongan Anda (karena ia sudah tidak mampu mengatasinya) atau saat ada nyawa yang terancam (KDRT), saat itu kehadiran orang tua memang dibutuhkan untuk menyelamatkan sang anak.

Bagaimana pendapat Anda?