
Setiap hari suami sebagai kepala keluarga selalu dihadapkan dalam keputusan demi keputusan. Sama halnya dengan seorang pemimpin di mana pun, setiap keputusan pasti akan selalu berdampak bagi keluarganya. Maka tak jarang keputusan-keputusan kepala keluarga mendapatkan tantangan dan konflik dengan istrinya. Bagaimana caranya agar pasutri bisa mengambil keputusan tanpa melalui konflik dalam rumah tangga? Berikut ini 3 kuncinya.
Baca juga: Bagaimana Memperbaiki Hubungan Suami Istri yang Sudah Jenuh
Transparan vs Perilaku Independen
Kunci yang pertama dalam mengambil keputusan tanpa konflik adalah transparansi. Transparansi artinya selalu berbagi dan menceritakan keputusan-keputusan yang akan diambil. Memang keputusan untuk membeli gorengan seharga 2.000 Rupiah tidaklah perlu ditransparankan, namun keputusan-keputusan besar misalnya: di mana anak bersekolah, pindah kerja, membeli kendaraan atau rumah tentu adalah keputusan yang harus didiskusikan terlebih dahulu.
Mana keputusan yang besar mana keputusan yang kecil ini juga mungkin perlu dibicarakan dengan pasangan. Umumnya semua keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga tentu harus terbuka. Selain itu juga keputusan-keputusan yang mengeluarkan uang yang dianggap banyak juga perlu transparan. Suami dan istri mungkin berbeda definisi “pengeluaran besar” di sini. Ada yang membership gym seharga 1 juta sudah dianggap besar dan berharap pasangannya transparan dalam hal ini, tapi ada juga yang hanya memperhitungkan 5 juta sebagai batasnya.
Transparansi ini juga berlaku walaupun uang yang dipakai adalah uang hasil jerih payah Anda sendiri (bukan uang istri/suami). Banyak pasutri yang berantem karena sang suami kerap kali memberi uang kepada orang tuanya, atau adiknya. Walaupun itu adalah uangnya sendiri, istri merasa tidak dihargai karena tidak diajak berdiskusi tentang hal itu.
Keputusan-keputusan yang diambil tanpa diskusi dan tanpa sepengetahuan pasangan disebut sebagai perilaku independen (independent behavior), dan ini adalah hal yang bisa merusak tabungan cinta Anda.
Menerima Pengaruh Pasangan
Kunci yang kedua disebut Gottman sebagai accepting influence (menerima pengaruh). Di berbagai belahan dunia, bahkan di negara-negara maju, pria masih menjadi kepala keluarga dan pengambil keputusan. Namun ini bukan berarti pria tidak perlu berdiskusi dengan istrinya dalam mengambil keputusan. Keputusan-keputusan besar, keputusan yang berpengaruh bagi anggota keluarga perlu dibicarakan dengan pasangan. Inilah yang seringkali menjadi kelemahan pria yang merasa sebagai penentu keputusan dalam keluarga.
Banyak pria kurang mampu memaparkan pemikirannya dan mengajak istrinya dalam diskusi yang sehat dalam pengambilan keputusan. Ketidakmampuan ini berakibat konflik-konflik dalam rumah tangga. Suami merasa istri dominan, padahal ia tidak mampu mempertahankan argumennya, atau memang argumen istrinya memang lebih baik, hanya saja sang suami merasa gagal, merasa diri tidak berguna kalau idenya ternyata tidak lebih baik daripada istrinya. Sang istri yang kebetulan memiliki ide yang lebih baik, karena idenya ditampik (pengaruhnya tidak diterima), juga menjadi kecewa dan merasa tidak dihargai.
Kalau berulang kali terjadi seperti ini, seringkali munculah tembok, mulai tidak transparan dan sang suami menjadi malas mendiskusikan keputusan-keputusannya. Ia akan merasa nanti keputusan itu akan digagalkan oleh istrinya dan akan membuatnya merasa sangat kecewa.
Namun sebenarnya semakin kita memutuskan untuk independen, semakin runyam masalah rumah tangga kita. Jadi yang harus dilakukan adalah belajar untuk mendiskusikan ide dan pendapat kita. Adalah penting untuk menerima pengaruh pasangan kita sehingga istri merasa dirinya dihargai sebagai pasangan yang sepadan dengan suaminya.
Menerima pengaruh pasangan dimulai dengan cobalah untuk mendengarkan terlebih dahulu pendapat pasangan. Ini berlaku baik untuk suami maupun istri. Tidak ada yang merasa dihargai kalau baru berkata 1 kalimat sudah dipotong, “aku tidak setuju!”, atau malah coba menasehati/mengkuliahi pasangan kita. Mungkin kita benar, namun pasangan kita sudah merasa terhina. Kalau pasangan Anda jadi jera untuk mengungkapkan ide dan pendapatnya, Anda berdua sebenarnya mengalami Lose-Lose, bukan Win-Lose.
Dengarkan juga Perasaan Pasangan
Walau kita selalu berupaya untuk mengambil keputusan yang terbaik secara logis, namun manusia memang tidak cuma memiliki logika saja. Kita harus mengakui bahwa kita juga punya emosi. Dan terkadang keputusan-keputusan kita juga mengandung unsur emosional. Ini tidak untuk diabaikan tetapi harus didengarkan dan diberikan empati. Saat kita mampu berempati pada perasaan itu, walau kita kelihatannya tidak mengambil keputusan yang terbaik secara logis, tetapi sebenarnya kita telah mengambil keputusan yang terbaik sambil mempertahankan hubungan dan dukungan dari pasangan kita.
Seorang istri diminta oleh orang tuanya untuk merenovasi rumahnya yang jauh dari kota. Biaya renovasinya ratusan juta, tidaklah kecil. Sang istri memohon agar suaminya mengijinkannya untuk melakukan renovasi itu, toh mereka memiliki uang yang cukup untuk hal tersebut. Namun sang suami merasa bahwa tidaklah logis untuk merenovasi rumah tersebut, karena rumah itu terlalu jauh dari tempat kerja mereka, sehingga walaupun orang tua mereka memberikan rumah tersebut kepada mereka, mereka juga tidak akan mungkin tinggal di rumah tersebut. Daripada demikian, sang suami merasa lebih baik mengalihkan uang ratusan juta itu untuk membeli rumah di tempat lain, atau membesarkan rumah mereka untuk orang tuanya tinggal bersama mereka.
Kalau hanya melihat hitung-hitungan untung rugi dan manfaat, sepertinya sang suami bertindak lebih logis dan lebih tepat. Namun kenapa mereka tetap ingin merenovasi rumah itu, ternyata ada sebab emosionalnya. Yaitu karena rumah itu merupakan rumah pertama yang orang tuanya mampu beli, setelah sekian lama mereka harus pindah-pindah kontrakan akibat keuangan keluarga yang buruk. Rumah itu juga terlalu banyak kenangan yang indah yang sulit untuk diuraikan hanya lewat kata-kata saja. Sekarang jadi cukup jelas mengapa sang istri juga terus berupaya agar suami setuju dengan renovasi tersebut.
Nah hal seperti ini yang perlu didengarkan dan diberi empati. Saat sang istri didengarkan dan menemukan mengapa ia begitu bersikukuh untuk merenovasi rumah itu, tidak mustahil hati mereka berubah dan keputusan akhir bisa jadi justri tidak jadi. Atau bahkan hati sang suami yang luluh dan akhirnya mengijinkan hal itu dilakukan. Ini karena saat mereka saling terbuka dan bercerita, pikiran mereka saling terbuka satu sama lain, kompromi jauh lebih mudah untuk dilakukan setelah itu.
Itulah ketiga kunci agar pengambilan keputusan dalam keluarga tidak perlu harus melewati pertengkaran. Intinya ada pada keterbukaan dan mendengarkan. Selamat mencoba dan berjuang untuk pernikahan yang hebat! Salam Pembelajar!

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.