
Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam pernikahan. Dua orang dengan latar belakang yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, kepribadian yang berbeda, hidup dalam satu rumah, satu kamar yang sama, tentunya ada banyak hal yang bisa menjadi sumber konflik. Sebenarnya, baik rumah tangga yang sehat dan rumah tangga yang tidak bahagia sama-sama menghadapi konflik. Bedanya hanyalah pada rumah tangga yang sehat, konflik itu tidak merusak pernikahan karena tidak mengandung 4 tanda bahaya pernikahan.
Baca juga: 5 Hal yang Membuat Pasangan Malas Bercakap-cakap dengan Kita
4 tanda bahaya pernikahan (4 horsemen of the apocalypse) menurut Prof. John Gottman adalah:
- Kritik: Upaya untuk menyerang pasangan secara pribadi. Biasanya dengan memberikan label pada pasangan. Misalnya: jahat, pelit, jorok, dll. Atau bisa juga dengan menggunakan kata-kata “tidak pernah” atau “selalu”. Misalnya: “Kamu tidak pernah memberi saya hadiah ulang tahun,” atau “kamu selalu pulang terlambat”
- Hinaan: Upaya untuk menyakiti hati pasangannya dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Termasuk penggunakan kata-kata kasar seperti “tolol”, “katro”, “gak guna”, atau bahkan kebun binatang dan alat kelamin. Sering kali hal ini merupakan respon frustasinya karena pasangannya tidak mau berubah.
- Defensif: Upaya melindungi diri dengan cara menyangkali atau menyerang balik (counter attack) pasangannya. Ia tidak mengakui kontribusinya terhadap konflik, tetapi malah menyerang kesalahan pasangannya atas apa yang terjadi.
- Tembok: Menghentikan komunikasi dengan pasangan. Merasa sangat marah sehingga tidak mau lagi bicara, atau merasa percuma bicara dengan pasangannya.
Kehadiran salah satu saja dari keempat tanda itu akan membuat konflik tersebut menjadi konflik yang merusak pernikahan. Karena itu perlu dilakukan pencegahan agar konflik-konflik yang terjadi tidaklah merusak hubungan rumah tangga. (untuk tips meredakan kemarahan pasangan, dapat juga dibaca di artikel berikut: Bagaimana cara meredakan pasangan yang sedang ngambek?)
Cara Menghindari 4 Tanda Bahaya dalam Konflik Rumah Tangga
1. Miliki Peta Cinta dan Tabungan Cinta yang sehat
Saya telah bicara panjang lebar mengenai peta cinta dalam artikel ini: 7 Cara Membangun Keintiman dan Peta Cinta. Pada intinya, peta cinta bicara mengenai seberapa dalam Anda mengenal pasangan Anda. Apakah Anda mengenal pasangan Anda seperti Google Map yang sedang zoom-in sedemikian sehingga bisa melihat dengan sangat detil (termasuk melihat jalan-jalan kecil, gang-gang dan bahkan batas-batas bangunan) peta mengenai suatu lokasi, ataukah Anda hanya mengenal pasangan Anda secara global saja, seakan-akan seperti Google Map yang sedang zoom-out hanya dapat melihat nama-nama kota dan jalan-jalan antar provinsi saja.
Sedangkan penjelasan tentang tabungan cinta dapat diikuti dalam Marriage Insight #3 berikut ini:
Peta cinta dan tabungan cinta merupakan modal utama dalam berkonflik dengan sehat. Pasutri-pasutri yang memiliki peta cinta dan tabungan cinta yang baik akan lebih sedikit atau bahkan tidak melakukan 4 tanda bahaya di atas.
2. Hindari memulai konflik dengan menyerang atau menyudutkan
Seringkali kita memulai mengungkapkan kekesalan kita dengan salah satu dari kalimat-kalimat berikut:
- “Kamu tadi lupa mengunci rumah kan?” (menyudutkan)
- “Kenapa kamu begitu?” (meminta penjelasan, namun dengan sedikit menyudutkan)
- “Kamu yang bener dong….” (sudah melabeli bahwa pasangan kita salah)
Riset memberitahu kita bahwa bagaimana cara kita memulai konflik akan menentukan bagaimana konflik itu akan berakhir. Kalau kita memulai konflik dengan menyerang atau menyudutkan, hasilnya 90% sudah dapat ditebak: konflik membara, keduanya sakit hati dan hubungan menjadi lebih buruk.
Daripada melakukan hal tersebut, bagaimana kalau kita memulai selalu dengan kata “saya”. Formula tepatnya adalah, “saya merasa…. (ceritakan perasaan Anda), waktu kamu…. (ceritakan kejadiannya)”.
Memulai dengan kata “saya” akan menurunkan nada bicara kita. Memulai dengan menceritakan perasaan, bukan kejadian akan membuat pasangan mendengar dan berempati dulu, lebih daripada berargumen dan berlogika. Sedangkan menceritakan kejadian dan bukan asumsi atau tuduhan membuat Anda berdua memulai konflik dengan objektif, bukan berdasarkan pandangan sepihak saja.
3. Waspadai flooding
Yang dimaksud dengan flooding adalah kondisi di mana seseorang dikuasai oleh emosi marah dan frustasi. Pada saat tersebut, otak kita akan dikendalikan oleh bagian otak yang hanya memiliki 2 respon saja: bertempur atau kabur (flight or fight). Ciri-ciri seseorang yang berada dalam kondisi flooding ini adalah sama seperti kondisi tubuh sedang terkena Covid-19 yaitu tingkat oksigen dalam darah berubah menjadi di bawah 95% atau detak jantung di atas 100 kali per menit (padahal bukan baru berolah raga).
Saat seseorang memasuki kondisi flooding, otaknya tidak akan terlalu berespon secara logika lagi, melainkan hanya menyerang atau melarikan diri, yang mana bagi tubuhnya, ia sedang dalam kondisi bahaya dan harus menyelamatkan diri. Dalam kondisi seperti ini, percakapan menjadi tidak produktif lagi.
Banyak orang berusaha menyelesaikan pertikaian dengan pasangan dengan terus mengejar pasangan agar bisa menyelesaikannya saat itu juga. Sebagian dari mereka mungkin berusaha menerapkan kata-kata kitab suci yang mengatakan bahwa “kalau kita marah jangan sampai matahari terbenam”, yang maknanya sering diartikan sama seperti “kalau marah jangan sampai di bawa sampai esok hari”. Itulah sebabnya mereka mengejar dan berupaya menyelesaikan konflik sebelum hari tersebut berlalu. Tetapi yang terjadi adalah mereka akan terus berantem, dan pertengkarannya bahkan semakin menjadi-jadi.
Ini disebabkan karena tatkala flooding sudah terjadi, sebenarnya percakapan sehat sudah tidak dapat dilakukan. Tidak ada jalan lain bagi mereka selain berhenti berkonflik terlebih dahulu, time out, dan mengalihkan perhatian kepada hal lain. Bisa dengan cara mengalihkan perhatian ke pekerjaan, anak, nonton TV, main game, atau bisa juga dengan cara berdoa atau meditasi. Yang penting adalah berhenti memikirkan konflik tersebut untuk sementara waktu.
Time out yang dibutuhkan oleh orang yang flooding adalah selama minimal 20 menit. Dan dalam maksimal 24 jam, Anda berdua harus kembali duduk bersama dan kembali menyelesaikan hal tersebut. Inilah makna dari “jangan kita marah sampai matahari terbenam” yang sebenarnya, yaitu tatkala kita flooding, take a break. Berhenti dulu, jangan lanjutkan. Tetapi lanjutkanlah saat pikiran sudah dingin, dan jangan melebihi 24 jam sehingga masalah itu tidak tergantung atau di-peti-es-kan.
4. Lakukan upaya untuk memperbaiki hubungan
Saat konflik memanas, biasanya kita akan terus naik sampai pecah perang dunia III. Tetapi cobalah untuk melakukan dengan cara yang berbeda. Saat Anda mengenali ada bagian dari kesalahan yang merupakan tanggung jawab Anda, walaupun Anda masih kesal dengan bagian dari tanggung jawab pasangan, cobalah untuk mengakuinya terlebih dahulu. Ini akan membuat tensi sedikit menurun dan tidak mustahil pasangan Anda juga mengikuti Anda untuk mengakui kontribusinya.
Meminta maaf untuk kontribusi Anda adalah jalan tol untuk menyelesaikan konflik. Ini bukan berarti mengakui bahwa semua salah Anda (yang mana akan menimbulkan konflik yang lebih hebat karena Anda sedang playing victim), tetapi mengakui bahwa sekalipun Anda merasa pasangan Anda yang bersalah, tetapi Anda mau mengakui kontribusi Anda (walau sebagaimana kecilnya pun itu) dalam konflik.
Itulah 4 cara yang dapat Anda gunakan untuk menghindari konflik yang merusak dalam pernikahan Anda. Namun jika konflik yang Anda hadapi tidak kunjung reda, yang mana berarti Anda dan pasangan mengalami kebuntuan demi kebuntuan, tidak lagi mampu secara efektif menyelesaikan konflik, itulah saatnya Anda berdua mencari konselor/coach pernikahan untuk mendapatkan bantuan.
Jangan tunggu sampai konflik itu berujung pada perceraian. Kontak kami sekarang dan selamatkan pernikahan Anda.

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.