 
		
Banyak wanita yang akhirnya terjebak dalam situasi rumah tangga yang sulit setelah mereka menikah dan memiliki anak. Anak-anak yang harus dibesarkan oleh suster atau bahkan ART, terbelit dalam hutang kartu kredit, konflik dengan suami yang tak habis-habisnya dan lain-lain. Banyak dari masalah-masalah tersebut kalau ditarik benang merahnya adalah karena kondisi finansial yang menyebabkan istri yang harus bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup. Dengan turunnya istri ke dalam pekerjaan rutin yang full time, pengasuhan anak harus diserahkan kepada orang lain. Tidak jarang juga kebutuhan suami jadi terbengkalai. Suami-istri jadi kesulitan mengalokasikan waktu untuk bisa ngobrol dan berinteraksi yang menyenangkan bersama.
Baca juga: Tatkala Penghasilan Istri Lebih Besar Daripada Suami
Namun sebenarnya hal-hal ini bisa dicegah kalau para istri dapat mengambil keputusan-keputusan yang tepat, khususnya sebelum mereka menjadi seorang ibu. Tulisan yang menginspirasi ini diambil dari tulisan karya Susanne Venker “5 Money Mistakes Women Make Before They Become Mothers”, saya tuliskan ulang dengan pendapat pribadi dari saya sendiri dengan konteks di Indonesia.
Memilih profesi berdasarkan fleksibilitas daripada status atau potensi pendapatan yang besar
Siapapun kita cenderung memilih pekerjaan dengan gaji yang tertinggi. Khususnya karena di masa kini uang hampir dapat membeli segalanya. Namun ini bisa menjadi masalah jika Anda adalah seorang wanita yang merencanakan untuk memiliki anak. Bagaimana pun juga, seorang anak membutuhkan orang tuanya. Dan menyerahkannya ke tangan suster atau bahkan orang tua kita sendiri sekalipun, hasilnya tidak akan sebaik jika anak dibesarkan oleh orang tuanya sendiri. Anak akan sulit mendapatkan disiplin dan kasih sayang yang dia perlukan untuk dia bisa bertumbuh secara optimal dalam fisik, mental dan emosional.
Dengan menyadari hal tersebut, keputusan yang lebih tepat adalah memilih pekerjaan yang memiliki potensi untuk fleksibel di masa depan, khususnya saat nanti Anda telah memiliki anak. Anda dapat mengharapkan terus mendapatkan penghasilan (walau mungkin tidak sebesar pekerjaan full time), dan dapat mendidik anak-anak Anda dengan tangan Anda sendiri.
Menikahi pria dengan pendapatan yang stabil, lebih baik lagi kalau pendapatannya lebih besar
Hal kedua ini sangat penting dan patut dipertimbangkan oleh semua wanita. Kita hidup dalam lingkungan budaya di mana wanitalah yang diharapkan untuk mengurus anak-anak. Sebenarnya ini bukan sekedar budaya, tetapi merupakan panggilan alam mengingat wanitalah yang dikaruniai rahim untuk mengandung dan melahirkan anak, dan juga payudara untuk menyusui. Maka tanggung jawab utama untuk nafkah keluarga sesungguhnya akan selalu jatuh ke tangan suami. Saat seorang wanita sudah hamil, ia sudah harus memikirkan tentang anak, bukan lagi karirnya yang gemilang. Itu adalah panggilan ilahi dan alami dari seorang wanita. Namun hal ini wajib mendapatkan dukungan yang kuat dari suaminya. Tanpa memiliki suami dengan penghasilan yang stabil, istri akan terseret dalam kondisi double job: job di kantor dan job di rumah. Hal ini bisa membuat seorang wanita merasa sendirian dan frustasi kalau suami sudah tidak produktif dalam penghasilan, juga tidak membantu dalam urusan rumah tangga dan anak. Bisa jadi hat trick kalau suami juga kurang menunjukkan kasih sayang kepada sang istri.
Pasutri-pasutri seperti ini yang sering datang ke ruang konseling. Istri yang dianggap terlalu dominan: penghasilan lebih besar, keputusan lebih bijaksana, lebih ulet juga dalam mengurus keluarganya. Dan suami yang dianggap underperformance: Kurang menghasilkan, kurang membantu dalam urusan rumah tangga, juga kurang menyayangi istri.
Banyak istri-istri yang kecewa karena melihat suami mereka kurang berjuang dalam mencari nafkah atau cepat puas dengan penghasilan mereka. Para istri akhirnya terpaksa untuk berjuang lebih giat sehingga karir mereka pun akan menjadi lebih bersinar. Dan mereka akhirnya mengambil alih kepemimpinan di rumah karena penghasilan mereka mengalahkan suami mereka. Munculah masalah alpha wife dalam rumah tangga (tentang alpha wife dapat disimak di posting: Making Peace with The Alpha Wife).
Sebenarnya tidaklah salah jika seorang istri memiliki penghasilan lebih tinggi dari suaminya, yang penting sebenarnya adalah penghasilan suami haruslah stabil dan cukup buat keluarga, sehingga ada ataupun tidak ada penghasilan istri, keluarga itu akan tetap aman sejahtera. Lantas bagaimana jika masalahnya bukannya penghasilan suami yang tidak cukup, tetapi karena tidak akan pernah cukup? Karena itulah perlu juga membahas hal ini di poin-poin berikutnya.
Membeli rumah berdasarkan perhitungan cicilan satu penghasilan, bukan dua
Saat kita ingin membeli sesuatu yang perlu dicicil, kita menghitung berapa besar kemampuan kita menyicil bukan? Nah terkadang karena suami dan istri keduanya bekerja, mereka menggabungkan penghasilan mereka untuk menghitung kekuatan cicilan mereka. masalahnya cicilan rumah itu bisa berjalan selama belasan bahkan puluhan tahun. Selama mencicil, banyak hal bisa terjadi. Termasuk jika suatu saat sang istri menyadari bahwa anak-anaknya membutuhkan dirinya di rumah. Masalahnya beban cicilan yang besar akan terus menuntut dirinya untuk tetap bekerja. Sang ibu tidak punya pilihan selain tetap bekerja dan sekali lagi harus “sedikit” mengabaikan kebutuhan-kebutuhan emosional sang anak.
Karena itu keputusan yang bijaksana adalah membeli rumah dengan memperhitungkan kekuatan cicilan dari satu penghasilan bukan dua. Ini sebenarnya bukan hanya sekedar perhitungan cicilan rumah saja, tetapi juga perhitungan budget secara umum. Tatkala semua kebutuhan pokok keluarga dibudgetkan untuk hanya dapat dipenuhi oleh dua income, masalah yang sama akan terjadi.
Membeli kebutuhan, bukan memberi makan gaya hidup
Poin ketiga sesungguhnya sudah memberikan clue bahwa bagi wanita yang akan menjadi seorang ibu perlu mulai mengatur gaya hidupnya. Ia dan suaminya perlu mencukupkan diri dengan gaya hidup dengan single income, bukan double income. Kecuali kalau istri punya pekerjaan yang cukup fleksibel sehinga bisa tetap mendapatkan penghasilan yang stabil, ini baru bisa dihitung double income.
Saya jadi ingat kata-kata emas yang diucapkan dalam film “Satu Kakak 7 Ponakan” besutan Arswendo Atmowiloto yang kemudian diadaptasi menjadi film oleh Yandy Laurens pada tahun 2025. Dikatakan demikian “Yang harus ditanggung itu biaya hidup, bukan gaya hidup.” Kata-kata ini sangat tepat. Biaya hidup, atau kebutuhan kita memang perlu dibeli, tetapi tidak perlu yang fancy.
Makanan sehari-hari dapat dibeli dengan budget 20 ribu, apalagi kalau masak sendiri. Ini kebutuhan hidup, biaya hidup. Tapi kalau makan siang seharga 100 ribu sekali makan, ini gaya hidup. Olah raga bisa kita lakukan sendiri di rumah, bahkan tanpa bantuan alat-alat olah raga yang jutaan, tanpa harus menggunakan outfit yang terlihat keren. Ini kebutuhan. Tetapi main padel dan membeli outfitnya yang seharga ratusan ribu ini sudah termasuk gaya hidup. Untuk suatu kebutuhan, kita bisa membelinya dengan kualitas yang cukup dengan harga terjangkau, tetapi kalau gaya hidup, tidak ada limitnya.
Ini juga termasuk sekolah anak. Kenyataannya banyak orang latah dengan sekolah internasional demi sekedar gengsi dan ambisi. Padahal sekolah nasional pun banyak yang berkualitas dan tetap punya kesempatan untuk kuliah di luar negri setelahnya. Akibatnya kedua orang tua harus membanting tulang untuk bisa membiayai anak-anak mereka yang membutuhkan biaya uang sekolah puluhan juta. Sekali lagi kebutuhan emosional anak dan pasangan mereka jadi diabaikan.
Tidak membiarkan sosial media mendikte Anda mengenai gaya hidup
Kesalahan fatal bagi kita adalah jika kita membiarkan postingan kerabat atau influencer mendikte kita mengenai apa itu gaya hidup yang terlihat “bahagia”. Sosial media adalah alat promosi dan isinya sekarang bukan lagi mengenai apa yang terjadi dengan kerabat kita, tetapi dipenuhi dengan konten-konten yang saling bersaing untuk mendapatkan Like dan follow. Kita perlu menyadari bahwa sosial media itu hanyalah media visual, sehingga konten yang bisa mendapatkan like dan follow itu harus selalu berkaitan dengan visual yang baik. Itulah sebabnyak konten-konten fleksing sangat banyak penggemarnya daripada konten yang biasa saja, dengan tampilan yang natural tanpa polesan tanpa pengarah gaya dan tanpa hal-hal yang wah.
Kita mulai mengukur kebahagiaan kita dengan barang-barang yang dimiliki, tempat-tempat liburan yang pernah kita kunjungi, pengalaman-pengalaman yang istimewa yang berkaitan dengan uang yang banyak. Seakan-akan hidup yang biasa saja itu sengsara dan miskin “jempol”. Akibatnya gaya hidup kita menjadi tinggi, kebutuhan akan uang menjadi besar, dan sekali lagi kita mengorbankan keluarga kita untuk memenuhi gaya hidup yang kita mau. Kita menggantikan kasih sayang dan perhatian dengan uang. Ini adalah keputusan finansial yang sangat merusak keluarga.
Itulah kelima keputusan finansial yang perlu dipertimbangkan oleh semua wanita yang ingin menjadi seorang ibu. Uang memang penting, tetapi kehadiran ayah dan ibu jauh lebih penting bagi pertumbuhan seorang anak. Saya Deny Hen, salam pembelajar!

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.
