
Beberapa hari yang lalu, ketika tim liputan SCTV mewawancarai saya sehubungan dengan Ayu Ting Ting dan Lettu Muhammad Fardhana, isu mengenai resiko-resiko jika istri memiliki penghasilan yang lebih besar jadi mencuat. Saya ingin membahas lebih lanjut melalui artikel ini agar audience bisa memperoleh informasi yang lengkap dan bermanfaat, khususnya bagi pasangan-pasangan dengan penghasilan istri yang lebih besar daripada suaminya.
Baca juga: Menolong Suami Menjadi Pemimpin Rumah Tangga
Apa yang salah dengan penghasilan istri yang lebih besar daripada suami?
Sebenarnya tidak ada yang salah, malah puji Tuhan sebenarnya jika ternyata memiliki istri yang punya penghasilan yang tinggi karena bisa sangat membantu keuangan keluarga. Kualitas kehidupan bisa menjadi lebih baik, keluarga juga bisa memiliki fasilitas dan sumber daya yang lebih melimpah. Hal ini akan sangat membantu di masa krisis. Anak-anak juga bisa mencapai cita-cita yang lebih tinggi daripada orang tua mereka.
Yang salah bukanlah penghasilannya, tapi dinamika yang terjadi di dalam relasi dan dalam diri pribadi baik suami maupun istri yang seringkali menjadi masalah. Dinamika-dinamika yang dimaksud adalah:
Pertama, adanya hukum alam yang mengatakan “siapa yang memiliki uang lebih banyak, dia akan lebih berkuasa”. Hal ini berlaku di masyarakat, namun ternyata seringkali berlaku juga di rumah. Istri yang dilarang suaminya mengikuti keanggotaan gym yang cukup costly misalnya bisa memveto keputusan itu dengan mengatakan pada suaminya, “Saya akan membayarnya dengan uangnya sendiri”. Seorang istri juga bisa memutuskan mobil merek apa, jenis apa yang dibeli karena ia memiliki penghasilan yang lebih besar daripada suaminya. Lagipula mobil tersebut sebagian besar dibeli menggunakan uangnya. Lebih jauh daripada itu, tidak jarang istri yang penghasilannya jauh di atas suaminya bisa menentukan hampir segala hal yang berkaitan dengan keluarga, karena sebagian besar pengeluaran keluarga berasal dari penghasilannya.
Ini bukan berarti seorang istri hanya boleh menerima begitu saja apapun keputusan suaminya. Yang sehat dalam suatu rumah tangga adalah ketika keputusan-keputusan dibicarakan bersama, diambil bersama dan dijalankan juga bersama. Suami juga tetap perlu mendengarkan pendapat dan menerima pengaruh dari istrinya. (Btw, menerima pengaruh istri merupakan salah satu faktor penting dalam keharmonisan rumah tangga, menurut Prof. John Gottman, seorang pakar pernikahan ternama). Namun ketika seseorang memveto keputusan karena ia tidak suka keputusan itu dan karena ia mampu melakukan yang ia inginkan, masalah power struggle dalam keluarga pun dimulai.
Kedua, suami yang kurang berfungsi sebagai pemimpin. Seorang pemimpin yang menjadi pemimpin hanya karena statusnya tidak akan bertahan lama diikuti para followers-nya. Seorang suami yang menjadi pemimpin hanya karena ia lelaki juga sama. Ia harus dan wajib memiliki karakter dan kemampuan pemimpin yang baik agar bisa diikuti oleh istri dan anak-anaknya. Uang malah sebenarnya bukan faktor yang utama yang membuatnya dipatuhi keluarganya, tetapi integritas moral-spiritualnya, kebijaksanaannya, kegigihannya dalam berjuang dan pengorbanannya bagi keluarga. Hal-hal ini menjadikannya layak untuk dikagumi dan menjadi panutan bagi istri dan anak-anaknya. Nah, saat seorang suami kekurangan kualitas pemimpin ini, istri dengan penghasilan yang lebih tinggi akan tergoda untuk “mengkudeta” dan mengambil alih pimpinan di rumah. Terutama saat suami berulang kali mengambil keputusan yang tidak bijaksana, egois atau kurang melibatkan pasangan.
Seorang wanita membutuhkan seseorang yang ia kagumi. Ketika ia tidak menemukan hal yang dapat ia kagumi dari suaminya, ia kehilangan pegangan. Dan ketika ia harus mengambil alih pimpinan di rumah karena suami yang disfungsi, ia merasa lelah.
Ketiga, bagaimana kita dibesarkan di keluarga asal sangat menentukan bagaimana kita bereaksi kepada pasangan kita. Seorang istri yang berasal dari keluarga yang pas-pasan dan mendapatkan gemblengan yang keras dari orang tuanya cenderung akan menuntut standar yang lebih tinggi kepada suaminya. Kalau suaminya ternyata berasal dari keluarga yang santai dan lebih berfokus kepada relasi daripada kinerja, ini juga sering jadi masalah. Sang istri dapat merasa suaminya kurang berjuang dalam karir/usahanya. Ia tidak sabar menantikan keberhasilan suaminya, dan cenderung lebih cepat merasa frustasi. Ia merasa pasangannya tidak akan pernah berhasil seperti dia, dan mulailah ia kehilangan kepercayaan dan kekaguman kepada suaminya. Harapan-harapan kepada suaminya berubah menjadi tuntutan-tuntutan. Kekecewaan-kekecewaan berubah menjadi ledakan-ledakan amarah, dengan sindiran dan hinaan yang sebenarnya berasal dari rasa frustasinya. Ironinya, justru tuntutan dan ledakan amarah itu membuat suaminya menjadi lumpuh dan semakin tidak mampu mencapai apa yang diupayakan. Suaminya kehilangan dukungan terbesar yang ia bisa peroleh. Dan sama seperti pemain sepakbola yang kehilangan suporter, ia kehilangan semangat untuk berjuang. Suami akan semakin terpuruk dan akhirnya menjadi rendah diri.
Keempat, sekuat dan sehebat apapun seorang istri, ia tetap membutuhkan orang yang mengasihinya. Waktu orang yang menjadi andalannya ternyata tidak bisa diandalkan dalam keuangan, ia masih bahagia karena suaminya sangat mencintainya dengan sepenuh hati. Ia mampu mengabaikan kekecewaannya dalam hal nafkah suami karena ia masih merasa dicintai. Namun ketika ekspresi kasih sayang dari sang suami itu tiada, cintanya kepada suami pun sirna. Banyak istri di titik ini mengatakan kepada saya bahwa ia merasa sangat lelah, karena semuanya harus dia yang berikan, semuanya harus ia yang usahakan, ia harus menanggung segalanya. Uang, keputusan di rumah, pengasuhan anak, bahkan cinta kasih pun dirasakannya cuma ia yang memberikan, tapi tidak ada dari sang suami.
Tetap Awet Sekalipun Penghasilan Istri Lebih Besar
Lantas bagaimana apabila penghasilan istri sudah lebih besar daripada suami? Tentu saja istri tidak perlu resign atau menghentikan bisnisnya hanya supaya rumah tangganya baik-baik saja. Tetapi tentu ada hal yang harus disesuaikan sehingga rumah tangga dapat berdansa dengan baik.
- Dalam pernikahan, ‘aku’ dan ‘kamu’ telah berubah menjadi ‘kita’. Khususnya dalam hal uang, perlu memiliki mindset milik bersama untuk dikelola bersama untuk kepentingan bersama pula. Ini artinya melakukan budgeting bersama, dan menganggap kedua penghasilan sebagai satu penghasilan yang sama (penghasilan kita), yang bisa dipergunakan bersama tanpa perlu memandang sumbernya dari siapa. Saya sering menemukan pasangan-pasangan yang mengatakan “bayar cicilan adalah uang saya, tetapi uang sekolah anak itu uang pasangan saya”. Seakan-akan walau sudah menikah, tapi masih memperlakukan sumber daya uang sebagai milik masing-masing. Ini salah satu yang sering menjadi sumber keributan. Nanti akan ada masalah berapa persen pembagian pengeluaran keluarga. Apakah 50-50? Apakah proporsional berdasarkan penghasilan? Ataukah semua pengeluaran harus dari suami, dan penghasilan istri hanya untuk dirinya sendiri? Yang lebih sehat adalah penghasilan suami dan istri sebagai satu kantong yang sama yang dipergunakan bersama atas persetujuan bersama. Jika ada masalah kepercayaan di situ sehingga tidak bisa menyatukan penghasilan sebagai penghasilan ‘kita’, maka masalah dalam pernikahan Anda ternyata lebih besar daripada sekedar masalah power struggle.
- Penghasilan yang kita terima itu tidak sepenuhnya hasil jerih payah kita semata. Ada anugerah dan berkat dari Tuhan di sana sehingga kita bisa di posisi kita sekarang. Bahkan para pebisnis pun sepakat kalau ada faktor luck yang ikut berperan dalam keberhasilan suatu bisnis. Jadi bersyukurlah jika penghasilan istri lebih besar, dan pahami bahwa kegagalan suami tidak selalu merupakan kesalahannya.
- Mungkin benar suami telah salah mengambil keputusan dan kurang berjuang sehingga penghasilan dan karirnya hanya seperti sekarang ini. Namun jika kita ingin keluarga yang lebih mapan dari hari ini, ia membutuhkan dukungan daripada hardikan. Karena hardikan sang istri justru akan menurunkan semangatnya, yang akhirnya istri juga yang akan kena, bagaimana jika istri berfokus ke dukungan kepada suami, dan fokus kepada hal-hal positif dari suami daripada hal-hal negatif?
- Jangan lupa bahwa hidup itu juga seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Artis-artis yang dulu menjadi artis papan atas, tidak sedikit yang sekarang hidup sulit karena sepi job. Pengusaha-pengusaha yang bangkrut pada pandemi covid kemarin tidak pernah menyangka mereka akan bangkrut karena penyakit, dan kemudian mereka jadi ada di bawah. Maka penghasilan yang dimiliki sekarang perlu disyukuri, termasuk kalau istrilah yang menjadi tulang punggung keluarga. Bayangkan kalau tidak demikian, mungkin keluarga kita tidak bisa bertahan dalam himpitan kebutuhan hidup yang kian membesar. Tetapi kondisi selalu mungkin berputar di masa depan, dan tidak ada yang bisa tahu kecuali Tuhan.
- Buat para suami, istri sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian kita (demikian juga anak-anak kita). Maka sesibuk apapun kita bekerja, keluarga harus tetap menjadi prioritas. Jika seorang istri bukan hanya menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dan bahkan double peran sebagai tulang punggung keluarga, ia layak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang lebih daripada biasanya.
Baiklah, saya sudah memaparkan 4 dinamika yang menjadi tantangan dalam istri-istri yang berpenghasilan lebih besar daripada suami, dan 5 pemikiran yang bisa dipertimbangkan untuk menjawab tantangan itu. Semoga keluarga Anda dapat terus saling mengasihi apa pun juga tantangannya. Salam Pembelajar!

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.