Mengapa Saya Tidak Akan Menggunakan Flexing sebagai Motivasi untuk Sukses

flexing

Flexing, apakah trend yang baru? Apakah bisa dijadikan bahan bakar untuk meraih kesuksesan? Berikut ini jawaban Coach Deny Hen dari pertanyaan-pertanyaan seputar flexing yang ditanyakan oleh Republika. Pertanyaan ketiga dan keempat penting untuk disimak.

Tanya: Saat ini flexing sedang trend di sejumlah kalangan masyarakat, menurut Coach, apa hal yang mendasari trend flexing tersebut?

JAWAB:

Flexing artinya show off, sebenarnya bukan trend baru. Sebelum kehadiran sosial media, kita sudah sering mendengar di pertemuan-pertemuan sosial seperti arisan, pertemuan komunitas, ataupun sekedar pertemuan keluarga beberapa orang memamerkan kekayaan mereka. Menggunakan anting, gelang, kalung serba emas, pakaian, tas dan sepatu bermerek, datang ke pertemuan dengan naik mobil mewah. Terdengar tidak asing kan? Hanya saja setelah adanya sosial media, kita bisa flexing kapan saja di mana saja, tidak harus menunggu pertemuan sosial dan juga tidak terbatas pada pertemanan fisik saja.

Pada dasarnya semua manusia membutuhkan perasaan berharga dan diterima secara sosial. Sayangnya seringkali masyarakat menilai sesuatu berdasarkan penampilan di luar saja. Kita cenderung memuji dan mendekat saat ada orang yang sukses dan mengabaikan orang-orang yang kurang berhasil. Ditambah lagi ada nasehat-nasehat untuk “berteman dengan orang-orang yang sukses supaya kita terdorong untuk lebih sukses”. Sukses, cantik, kaya, akhirnya menjadi target orang-orang yang membutuhkan penghargaan dan penerimaan itu. Lepas dari apakah benar ia telah sukses atau sebenarnya tidak, tatkala ia merasa ditolak, tatkala ia merasa tidak mendapatkan penghargaan dari lingkungan, ia membutuhkan jalan pintas untuk segera memperolehnya dari masyarakat. Di sinilah flexing akhirnya menjadi jalan keluar yang instan bagi mereka.

Tentu saja bukan hanya kesuksesan dan tampilan yang bling-bling yang dihargai masyarakat. Kita juga menghargai nilai moral. Terlihat dari pujian-pujian dan “likes” orang yang diberikan kepada orang-orang yang mau membantu sesama. Namun sosial media akhirnya menjadikan hal-hal moralitas dan bernilai itu menjadi sekedar tampilan dan ajang pamer. Karena rata-rata manusia tidak mau bersusah-payah membaca sampai habis, mencari tahu dan menelusuri, melainkan hanya meresponi apa yang muncul di hadapan mereka. Apakah mau memberi “likes” atau tidak? Memberi komentar positif atau negatif? Ikut-ikutan atau tidak? Sedangkal itu.

 

Tanya: Seperti apa kah sikap yang paling pas dalam memaknai suatu kesuksesan?

JAWAB:

Setiap orang mencari makna hidupnya, demikian kata Viktor Frankl, filsuf dan psikolog terkemuka penyintas genosida di masa PD II. Waktu kesuksesan (baca: banyak uang) sebagai tujuan terakhirnya, setelah mencapai itu ia akan kebingungan untuk mengisi makna hidupnya itu. Memang kita bisa berfoya-foya dan bersenang-senang dengan uang yang “no limit” seperti ini, namun akhirnya kita akan merasa hampa dan bertanya kembali, “what’s next?”

Demikian juga orang yang suka flexing. Di dalam hatinya ia merasa hampa. Ia bisa saja mendapatkan banyak perhatian dan sejuta likes, namun lubang di dalam hatinya tidak pernah bisa dipuaskan. Ia tidak pernah bisa merasa aman sekalipun ia telah meraih semuanya itu. Justru itulah Frankl mengemukakan bahwa manusia membutuhkan makna hidup yang membuatnya berarti. Dan makna itu baru terasa benar, rasanya pas, saat kita berbagi dan melayani sesama.

Di sisi yang lain, Louis Paskal mengatakan bahwa lubang di dalam hati manusia itu sebenarnya hanya dapat ditutup dengan mengenal Tuhan, Sang Pencipta kita. Terdengar klise, namun demikianlah kenyataannya. Mengenal Sang Pencipta, dan menemukan arti hidup bagi sesama, itulah makna yang lebih tepat untuk suatu kesuksesan.

 

Tanya: Hal apa saja yang bisa dilakukan untuk menghindari flexing?

JAWAB:

  1. Bersyukur dengan apa yang kita miliki saat ini. Bersyukur membuat kita merasa cukup dengan apa yang ada sehingga tidak perlu stres dan berusaha menunjukkan diri lebih unggul dari orang lain.
  2. Sadarilah bahwa nilai diri kita sama sekali tidak ditentukan oleh apa yang kita pakai, apa yang kita makan, atau ke mana yang pernah kita kunjungi, tetapi oleh karakter dan apa yang kita lakukan untuk sesama.
  3. Abaikan orang-orang yang pamer dengan kondisi dan keadaannya. Ingatlah bahwa kondisi yang ditampilkan selalu lebih baik daripada kondisi sebenarnya. Rasanya tidak ada yang pernah menunjukkan foto waktu kita berantem sama pasangan bukan? Selalu yang ditunjukkan adalah wajah-wajah sumringah yang tertawa. Padahal setiap pasangan pasti mengalami konflik. Jadi tenang saja, tidak selalu orang yang flexing benar-benar seperti apa yang dipamerkan.
  4. Berteman dengan komunitas yang sehat. Komunitas yang menerima siapa diri kita apa adanya terlepas seberapa beruntung atau seberapa buruknya hidup kita. Atau kalau tidak punya, buatlah komunitas kita bertindak demikian. Dimulai dari diri kita sendiri.

 

Tanya: Apakah flexing bisa disikapi sebagai suatu motivasi? Jika bisa, hal apa saja kah yang perlu dilakukan?

JAWAB:

Bisa saja. Namun sama seperti makanan sampah akan membunuh Anda di kemudian hari, motivasi yang buruk dan tidak sehat juga bisa berbalik dan melukai Anda di kemudian hari. Saat Anda tidak bisa menerima bahwa ternyata ada orang lain lagi yang lebih berhasil daripada Anda misalnya. Atau saat Anda kehilangan apa yang Anda pamerkan (segala hal di dunia ini suatu saat pasti berakhir, bukan?), atau saat orang-orang meninggalkan Anda karena sedikit kesalahan yang Anda lakukan di media sosial sehingga viral dan menjadi cibiran banyak orang.

Jadi daripada menjadikan flexing sebagai bahan bakar utama motivasi Anda, cobalah untuk menemukan “purpose” atau makna hidup yang lebih tinggi sebagai bahan bakarnya. Dan makna hidup itu yang akan menjadikan Anda tangguh menghadapi kehidupan seberapa sulitnya hal itu.

 

 

Bagaimana pendapat Anda?