Jangan Tunggu Kejedot – Pelajaran Berharga dari Kejatuhan Rohaniawan Besar Ravi Zacharias

Ravi Zacharias

Saya tidak pernah bertemu dengan rohaniawan besar yang bernama Ravi Zacharias. Bahkan waktu beliau hadir di sebuah gereja besar di Jakarta, saya pun tidak pergi mendengarkan kotbahnya. Tetapi saya sudah lama membaca bukunya, dan menontonnya di Youtube. Saya menyaksikan bagaimana Ravi membuat lawan-lawan bicaranya (seperti orang-orang atheis, agnostik dan juga pemeluk agama lain) terdiam dan tidak mampu membantah argumen Ravi tentang kekristenan.

Ravi Zacharias, seorang apologist (seorang yang ahli dalam mempertahankan dan menjelaskan imannya melawan keberatan-keberatan dari kubu lain) Kristen yang terbesar pada masa kini, meninggal pada tanggal 19 Mei 2020 di usia 74 tahun. Beliau adalah seorang India yang berkebangsaan Amerika Serikat yang sudah mewartakan Injil di berbagai penjuru dunia termasuk Vietnam, Rusia, Kamboja, dan begitu banyak negara lainnya. Singkatnya beliau adalah tokoh besar agama Kristen abad ini, sehingga Wakil Presiden AS pun datang dan berbicara pada pemakamannya.

Baca juga: Bagaimana Organisasi yang Kuat Mengambil Keputusan yang Fatal

Tapi beberapa hari lalu, RZIM, lembaga pelayanan yang didirikan oleh almarhum memberikan pernyataan resmi kepada publik melalui website mereka tentang perbuatan yang sangat tercela yang telah beliau lakukan pada masa beliau hidup. Ravi Zacharias telah terbukti melakukan pelecehan seksual dan perselingkuhan dengan beberapa wanita dengan menggunakan otoritasnya sebagai seorang “nabi” masa kini. Seorang hamba Tuhan besar yang menjadi teladan banyak orang, telah jatuh dan mengecewakan banyak followersnya.

 

Tumbangnya Para Pemimpin

Kisah Ravi Zacharias menambah satu lagi kegagalan seorang pemimpin raksasa, setelah kejatuhan pemimpin-pemimpin besar lainnya. Di kalangan politik ada Nicolas Sarcozy, Presiden Perancis yang jatuh akibat skandal korupsi. Ada Presiden Lee Myung-Bak, dari Korea Selatan, juga karena korupsi yang ditangkap pada tahun 2018. Demikian juga PM Italia, Silvio Berlusconi yang menjabat sepanjang 3 periode pemerintahan dan akhirnya terkena bebagai kasus hukum termasuk skandal seks yang dilakukannya pada saat ia masih menjabat.

Dari tubuh FIFA, penegak hukum menangkap total 30 orang pada tahun 2015 untuk tuduhan korupsi pengaturan skor pertandingan sepak bola dan pencucian uang. Carlos Ghosn, mantan CEO Renault, Nissan dan Mitsubishi Motors,  terkenal sebagai pemimpin luar biasa dengan julukan Mr “Fix It”, dan pernah dinobatkan sebagai salah satu dari 10 businessman paling berpengaruh di luar Amerika. Ghosn yang sudah memiliki kekayaaan yang sedemikian besar karena keberhasilannya dalam memimpin aliansi 3 perusahaan otomotif terkemuka dunia, harus ditangkap pada tahun 2018 karena kasus kebohongan dan penyalahgunaan aset perusahaan.

Mereka semua pernah berjaya sebagai salah seorang yang paling berpengaruh dalam komunitas atau negara mereka. Tetapi mereka semua tumbang karena tidak mampu menjaga integritas mereka, walaupun sebagian dari mereka baru tumbang setelah mereka tidak lagi mempunyai jabatan seorang pemimpin, bahkan dalam kasus Ravi, setelah ia meninggal dunia.

 

Integritas Sebagai Karakter Servant Leadership

“Power tend to corrupt, and absolute power corrupts absolutely

Demikian kata Sir John Dalberg-Acton. Memiliki kekuasaan itu sendiri adalah problem dari banyak pemimpin. Itulah sebabnya kepemimipinan tradisional gagal. Kepemimpinan tradisional akan menghasilkan Abraham Lincoln dan Winston Churchill, tetapi juga menghasilkan Hitler dan Stalin. Perbedaan antara mereka tidak terletak pada visi, tidak terletak pada kemampuan memimpin, tetapi pada moralitas dan integritas.

Itulah sebabnya dunia sekarang mulai berpaling kepada apa yang disebut dengan servant leadership. Kepemimpinan yang menghamba, yang dimulai dengan will dan menggunakan 4 karakter sebagai fondasinya. Keempat karakter tersebut adalah:

  • Integritas
  • Respek
  • Komitmen pada orang lain
  • Pengendalian diri

 

Saat kepemimpinan tradisional bemulai dari visi. Kepemimpinan yang menghamba (servant leadership) dimulai dengan will. Will (niat) sendiri adalah visi + hati. Servant leadership tidak berhenti pada visi, tetapi pada bagaimana visi itu bukan menjadi slogan saja, tetapi menjadi mimpi yang masuk ke dalam hati sang pemimpin. Di mana mimpi berubah menjadi niat dan passion yang besar untuk diraih.

Saat kepemimpinan tradisional berpusat pada kemampuan dan soft skill, kepemimpinan yang menghamba berpusat pada karakter. Dan integritas menjadi ciri khasnya. Integritas merupakan sikap tanpa kompromi dengan kebenaran dan konsisten akan perkataan dan tindakan.

Integritas tidak hanya cukup bermodalkan niat. Integritas harus diejawantahkan melalui sistem. Sistem akuntabilitas dan transparansi bagi seluruh pemimpin publik termasuk pemimpin agama merupakan yang yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Akuntabilitas berarti memiliki orang lain yang akan memeriksa dan mengetahui tindak-tanduk sang pemimpin. Terhadap orang atau sekelompok orang tersebut sang pemimpin terbuka dengan jelas apa adanya tentang apa yang dilakukan (transparan). Transparansi juga perlu menyangkut kekayaan pribadi dan sumber-sumber finansialnya.  Walau belum sempurna, dunia politik Indonesia sudah mulai bergerak ke arah sana. Dan ini saatnya para pemimpin agama pun melakukan hal yang serupa. Akuntabilitas dan transparansi dalam finansial dan aktivitas.

 

Kapan Seseorang Memutuskan untuk Berubah?

Saat seseorang berulang kali terlibat dalam kebiasaan buruk yang merusak, kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan dengan moral, yang disembunyikan dari orang lain, pada umumnya ia baru akan berubah ketika ia berada pada titik terendah dalam hidupnya. Dalam dunia kecanduan itu disebut dengan hit the bottom. Tapi sebenarnya 2 jenis titik terendah, yaitu High Bottom dan Low Bottom.

High Bottom adalah jika seseorang yang kecanduan memutuskan untuk berhenti dari kecanduannya dan mencari pertolongan saat ia belum benar-benar kehilangan segalanya. Ia belum benar-benar hancur. Di satu titik ia sadar bahwa ia mengalami masalah, mungkin karena melihat kehancuran orang lain yang memiliki kebiasaan buruk yang sama, mungkin karena kehidupan gandanya mulai ketahuan oleh beberapa orang lain. Ia merasa hancur dan sangat bersalah walaupun ia masih punya keluarga dan karir, mungkin juga orang banyak belum mengetahuinya. Baru orang-orang terdekat dan mereka mengerti untuk tidak membuka hal yang memalukan tersebut pada orang lain. Ini saya sebut sebagai kaki yang terantuk batu kecil, namun belum membuat kita terjatuh. Batu ini Tuhan taruh untuk menyadarkan kita, tapi tidak membuat kita jatuh dan hancur.

Sedangkan Low Bottom adalah jika seseorang yang kecanduan baru memutuskan berhenti saat ia sudah benar-benar hancur. Ia sudah benar-benar ada di titik terendah dalam hidupnya. Ia mungkin sudah kehilangan segalanya. Perilaku buruknya ketahuan publik, atasannya memecatnya, keluarganya meninggalkan dia. Itulah low bottom dalam hidupnya. Saat seperti itulah biasanya orang-orang baru tersadar akan kerusakan yang telah diperbuatnya dari kecanduannya. Hal yang serupa terjadi dengan kebiasaan buruk yang merusak. Perilaku melawan moral yang dilakukan berulang-ulang, yang membuatnya menjalani kehidupan ganda. Inilah yang saya sebut dengan kejedot. Kepala yang terbentur keras dan membuat kita terhuyung-huyung dan jatuh terkapar.

 

Jangan Menunggu Kejedot

Pelajaran penting dalam kejatuhan para pemimpin tadi adalah: Jangan kita menunggu kejedot. Saat kita mencapai low bottom, saat batu-batu kecil Tuhan taruh untuk menyadarkan kita. Itulah saatnya kita memutuskan untuk berubah, apa pun resikonya dan apa pun harganya. Bersegeralah mencari pertolongan. Kehidupan ganda yang tidak bermoral tidak akan berkutik saat dihadapkan dengan akuntabilitas dan transparansi. Dan akuntabilitas dan transparansi itu sudah pasti membutuhkan orang lain.

Berita kejatuhan sang rohaniawan besar, Ravi Zacharias adalah batu yang Tuhan taruh untuk menyadarkan kita. Ia adalah batu yang menyadarkan kita bahayanya hidup dalam kehidupan ganda yang kita pikir aman. Batu itu tidak boleh kita tutup-tutupi karena ia sudah meninggalkan dunia dengan jasa yang begitu besar, tetapi memang harus diketahui orang banyak. Karena nama baik tidak lebih penting daripada pembelajaran bagi generasi selanjutnya.

Dan saat kita berpikir bahwa kita bisa lolos tanpa harus menghentikan perilaku buruk kita, ingatlah dalam kasus Ravi Zacharias ini. Bahwa mungkin saja Anda meninggalkan dunia secara terhormat, tetapi keluarga dan keturunan Anda yang harus menanggung malu dan derita atas dosa yang telah Anda perbuat. Lebih mengerikan lagi adalah karena jika Anda sudah meninggal, Anda tidak punya kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahan Anda. Artinya keluarga dan keturunan Anda akan dihantui terus oleh kesalahan yang Anda perbuat seumur hidup mereka.

 

Selamat jalan Ravi Zacharias, ini adalah legacy terakhir Anda yang dapat menjadi berkat bagi banyak orang, lepas daripada perbuatan buruk yang sudah Anda lakukan. Saya berdoa supaya Tuhan menguatkan keluarga Zacharias dalam menghadapi badai yang menghantam keluarga mereka.

Bagaimana pendapat Anda?