“Berikan anak-anak Anda waktu yang berkualitas (quality time), kalau Anda punya waktu 2 jam, maka abaikanlah segala hal lainnya, lihatlah anak Anda di matanya, kenalilah dia. Duduk dan menonton TV bukan waktu berkualitas bagi saya” – Sandra Echeverria (seorang artis dari Meksiko)
Waktu yang berkualitas (quality time) merupakan waktu yang penting yang dapat diberikan oleh suami kepada istrinya, istri kepada suaminya dan orang tua kepada anaknya. Ia merupakan salah satu dari 5 bahasa cinta yang dapat kita berikan kepada keluarga kita untuk menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka. Saat kita memberikan quality time, itu berarti kita menyediakan waktu khusus untuk mereka, untuk melakukan kegiatan bersama, tanpa ada gangguan pekerjaan, orang lain, maupun gadget. Terkadang quality time dilakukan ekslusif berdua, ayah dan ibu, ayah dan 1 anak, atau ibu dengan 1 anak.
Baca juga: Hal yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Menyerahkan Anak untuk Diasuh Kakek Neneknya
Quality time untuk anak seringkali menjadi jalan keluar bagi para ibu yang bekerja. Karena ibu-ibu ini seperti suaminya, yang bekerja dalam waktu 8 jam sehari, ditambah dengan waktu yang dibutuhkan untuk pergi ke dan pulang dari kantor, maka kemungkinan mereka tidak bersama anak-anak mereka dalam waktu 9-10 jam sehari. Akibatnya mereka hanya dapat meluangkan waktu yang sangat sedikit dengan anak-anak mereka. Waktu yang dapat diberikan hanyalah waktu antara waktu makan malam dengan waktu tidur anak sebagai waktu bersama dengan anak-anak. Ini menjadi quality time bagi ibu dan anaknya.
Mengapa Quality Time Tidaklah Cukup
Bangun pagi hari kita akan buru-buru menyiapkan segala hal untuk pergi bekerja. Kita masak, menyiapkan bekal anak, bekal suami, membangunkan anak-anak, bergantian mandi. Kita tidak memiliki waktu untuk hubungan yang berarti dengan anak-anak kita di pagi hari.
Demikian juga malam hari. Banyak dari kita (khususnya yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya) pulang malam, dengan waktu untuk bersama anak-anak yang sangat sempit, kita kemudian memeriksa PRnya, mengajaknya belajar, kemudian nonton bersama sebentar, dan segera waktu mereka tidur sudah tiba. Kita cepat-cepat menidurkan mereka agar mereka dapat bangun pagi. Tak jarang kita pun punya banyak hal yang harus dibereskan sebelum untuk pekerjaan esok harinya, dan itu membuat kita melewatkan waktu berkualitas kita dengan anak-anak kita.
Betapa singkat dan terburu-burunya hidup kita setiap hari. Kenyataannya seringkali hanya sedikit waktu berkualitas yang kita luangkan dengan anak kita setiap hari. Semakin besar anak, waktu kita semakin sedikit bersama mereka. Mereka juga semakin memiliki kegiatan masing-masing. Mereka belajar dari orang tua mereka bahwa seisi keluarga tentunya punya keperluan masing-masing, maka lebih baik setiap orang mengurusi kebutuhannya sendiri-sendiri. Riset bahkan menunjukkan bahwa para remaja hanya memiliki waktu kurang dari 30 menit seminggu untuk hubungan yang berarti dengan ibu mereka, dan 15 menit dengan ayah mereka.
Faktanya waktu yang kita berikan kepada anak-anak kita sangat sedikit, dan kalaupun ada quality time, itu tidaklah cukup. Ada beberapa alasan mengapa waktu yang berkualitas itu tidak cukup:
1. Anak-anak butuh merasa penting dan diperhatikan
Kita bisa saja mengatakan pada anak-anak bahwa pekerjaan kita penting untuk kebaikan mereka juga. Kita juga berulang kali menjelaskan dengan kasih sayang kepada mereka. Kita membuktikan bahwa kita menyayangi anak-anak kita dengan membelikan banyak barang, memberikan quality time setiap hari, dan mengajak jalan-jalan setiap Sabtu dan Minggu.
Tetapi anak-anak itu polos dan lugu. Mereka belum terjangkit virus materialistis dan hedonis. Mereka hanya menangkap satu hal, yaitu bahwa boss orang tua mereka lebih penting daripada mereka. Atau bahwa uang adalah hal yang paling penting, lebih penting daripada anak-anak. Mereka lebih mempercayai apa yang mereka lihat, daripada apa yang dikatakan kepada mereka.
Penting untuk diketahui bahwa kebiasaan dan ritual sehari-hari bersama orang tua merupakan hal yang penting yang membuat anak merasa penting dan diperhatikan.
Ronald Levant, Psycholog di Harvard Medical School mengamati bahwa anak-anak yang kekurangan mendapatkan waktu orang tuanya memiliki self-esteem (harga diri) yang rendah.
3. Quality time adalah waktu appointment kita dengan anak yang sangat singkat
Dalam kondisi seperti ini, quality time akhirnya menjadi waktu appointment kita dengan anak-anak kita, sama seperti appointment meeting kita dengan klien atau customer kita, yang mana dalam pertemuan dengan klien, kita akan mempergunakan waktu sesingkat mungkin, dan seefisien mungkin untuk berbicara dengan mereka. Kita membawa kebiasaan “profesional” kita di kantor ke dalam rumah.
Kita melupakan bahwa anak-anak kita bukan orang dewasa seperti kita. Mereka hidup dalam laju kecepatan yang lambat, jauh lebih lambat daripada kita. Dalam pekerjaan kita, kita dituntut gesit dan mengerjakan segala sesuatu dengan cepat dan seefisien mungkin. Kita dapat menghabiskan makan siang kita bahkan dalam waktu 5 – 10 menit saja, tetapi anak-anak kita yang masih kecil harus berjuang untuk menyelesaikan makanan mereka dalam 30 menit. Kita belajar membaca kilat (bahkan dikatakan bahwa manusia bukan membaca, tetapi memindai tulisan/bacaan), tetapi mereka masih berusaha memahami apa yang baru mereka baca dengan perlahan.
Lantas kita berharap anak-anak kita juga dapat memperlakukan 1 jam quality time bersama kita seefektif dan seefisien kita. Itu hal yang tidak mungkin terjadi. Kita menerapkan quality time sebanyak 1 jam karena hanya itu yang kita punya. Tetapi 1 jam waktu yang berarti tersebut tidak mampu menegasikan/menetralkan segala pikiran dan perasaan negatif, ataupun pengaruh buruk lingkungan (termasuk TV dan sosmed) yang mereka alami dalam 23 jam sisanya.
4. Quality time berarti kurangnya monitoring anak
Para ahli (seperti ditulis dalam majalah Newsweek) mengatakan bahwa:
Monitoring anak, adalah salah satu fungsi kritis yang diperlukan dalam keluarga. Monitoring menolong anak-anak terbebas dari ancaman narkoba dan pornografi (dan seks bebas).
Monitoring tidak dapat dilakukan dalam waktu 1-2 jam quality time saja. Karena itu semakin banyak psikolog dan penggiat edukasi anak yang ingin menghilangkan pemikiran bahwa quality time adalah jalan keluar bagi para ibu karir atau pasutri yang double income (Newsweek). Karena quality time tidak pernah bisa menggantikan quantity time.
George Barna dalam bukunya Revolutionary Parenting mengatakan bahwa “quality time is one of the most harmful ideals to grip the minds of parents over the past two decades” (ide tentang waktu berkualitas adalah salah satu ide yang sering dianggap ideal namun paling merusak, yang telah mempengaruhi para orangtua selama dua dekade terakhir ini).
Anak Memerlukan Quantity Time dari Kedua Orang Tua
Kevin Dwyer, dari National Association of School Psychologists di Amerika mengatakan bahwa akibat dari kurangnya waktu bersama anak-anak adalah kurangnya disiplin dalam anak. Hal ini mudah dipahami karena anak-anak tersebut mendapatkan disiplin secara tidak konsisten, pada malam hari disiplin menurut aturan orang tua, dan pada siang hari disiplin menurut pengasuh atau kakek-nenek mereka (disiplin yang tidak konsisten adalah salah satu parameter parenting yang digunakan dalam tes parenting kami).
Kevin menambahkan bahwa anak-anak tersebut juga lebih agresif, lebih menyimpang dan lebih melawan dari anak-anak lainnya.
Tetapi kalau kita terus berpikir bahwa meluangkan waktu lebih banyak untuk anak adalah urusan istri saja, kita tidak menolong anak-anak kita menjadi lebih baik.
Fakta yang diperoleh National Fatherhood Initiative pada tahun 2007 di AS menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah, berpotensi 2 hingga 3 kali lebih besar untuk masuk penjara, kecanduan obat terlarang, tidak lulus SMA, punya anak di luar nikah, mengalami gangguan mental dan tewas mengenaskan.
Seorang ayah sama dibutuhkan oleh anak untuk bisa bertumbuh dengan sehat. Dalam banyak kasus, ayah adalah kunci untuk keberhasilan pernikahan dan parenting. Tugas sebagai seorang pendidik dalam keluarga yang terutama justru adalah seorang ayah. Ayahlah yang terutama mendidik anak dalam moral/agama, karakter dan disiplin.
Yang Terbaik untuk Anak-Anak Kita
Dengan demikian, apa hal yang terbaik yang dapat kita berikan pada anak-anak kita?
- Seorang ibu yang mengurus anaknya sendiri (saya pernah membahasnya dalam artikel: Haruskah Aku Resign dan Menjadi Ibu Rumah Tangga (Full Time Mom)?)
- Seorang ayah yang meluangkan waktu sebanyak mungkin (quantity time) bersama anaknya. Seorang anak mungkin bisa mengerti jika ayahnya baru bisa ditemui pukul 5, tetapi mempertanyakan bila baru bisa ngobrol dengan ayahnya setiap akhir minggu saja.
Secara praktis melakukan hal-hal berikut dapat membantu:
- Pindah kerja ke tempat yang dekat rumah. Atau sebaliknya, mengontrak rumah di tempat dekat tempat kerja kita
- Mencari pekerjaan yang lebih fleksibel, misalnya online shop, mengajar les piano di rumah, dll
- Bila memungkinkan, ayah dapat mencuri-curi waktu bisa bersama anak-anak, misalnya waktu makan siang, menjemput anak di sekolah, menemani bermain atau belajar (tentunya yang tidak menyalahi aturan tempat kita bekerja).
Seorang anak tidak hanya belajar dari orang tuanya saat orang tuanya berbicara kepada dia, tetapi lebih banyak belajar dari orang tuanya saat masak bersama, bermain bersama, atau saat bersama pergi ke sekolah. Maka quality time itu untuk di tempat kerja, sedangkan di rumah, berikanlah quantity time untuk orang-orang yang Anda cintai.
Saya Deny Hen, salam pembelajar.
Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.