Membandingkan anak memang sulit dihindari oleh kita sebagai orang tua. Namun kita perlu lebih menahan diri, atau 3 resiko ini harus dihadapi oleh anak kita tersayang.
Saat di ruang konseling, saya acapkali mendengar keluhan orang-tua seperti yang diutarakan oleh ketiga supermom berikut ini (bukan nama sebenarnya):
Bunda Caca : “Saya pusing bu, dari kecil diamnya cuma kalau lagi tidur. Berantakin sana sini, gangguin kakaknya, ga nurut kalau dibilangin. Kadang saya kasihan juga, karena kalau lagi kumpul sama keluarga besar jadi diomelin sana sini dan dibandingin sama sepupu-sepupunya.”
Ibu Budi : “Beda banget deh anak ini sama kakaknya. Dulu pas kakaknya sekolah lancar-lancar aja. Lha yang ini sebentar-sebentar saya dipanggil terus sama gurunya.”
Mama Agus : “Saya tuh bingung Miss, ini kokonya udah kuliah tapi kok ga bisa inisiatif kayak dedenya yang masih SMA. Apa-apa mesti disuruh dulu, bahkan potong rambut aja perlu diingetin.”
Apakah anda pernah mendengar keluhan serupa? Atau jangan-jangan Anda sedang mengalami kebingungan yang sama dengan ketiga ibu yang pernah saya temui tersebut?
Sejak menjadi orang tua, salah satu tantangan yang sulit bagi saya adalah untuk tidak membandingkan anak. Hal ini sedari dulu sudah saya ketahui, namun ternyata tidak semudah itu waktu dijalani. Saat masih memiliki satu anak, kecenderungannya adalah untuk membandingkan dengan anak lain. Apapun bisa menjadi bahan perbandingan, seperti berat badan, sudah bisa apa, pintar atau tidak makannya, dan sebagainya. Begitu memiliki lebih dari satu anak, daftar perbandingan pun bertambah, mulai dari perilaku, penampilan, prestasi, dan seterusnya.
Dorongan untuk membandingkan, tidak dapat disangkal memang muncul secara alamiah. Kita pun terbiasa dibandingkan dan membandingkan diri kita dengan orang lain. Ada kalanya membandingkan diri ataupun anak kita dengan orang lain dapat membawa dampak positif. Misalnya saja, memacu diri untuk mencapai prestasi/target yang lebih, belajar menerima hal baru, mengubah kebiasaan negatif menjadi positif, dan sebagainya. Namun untuk kali ini, ijinkan saya membagikan tiga resiko dari membandingkan anak-anak kita yang saya pelajari dari sesi-sesi konseling, dan dapat terbawa sampai anak kita dewasa.
1. Memicu Sibling Rivalry (Pertengkaran antar saudara)
Saat kita membandingkan anak kita dengan anak lain, tanpa disadari kita mengirimkan pesan bahwa saudaranya atau anak lain lebih disukai atau lebih dikasihi. Akibatnya anak dapat menumbuhkan rasa iri atau ketidaksukaan terhadap saudara kandungnya serta mengganggu sosialisasinya dengan orang lain. Hal ini disebabkan ia merasa keberadaan “anak lain” membuatnya terus-menerus “dirugikan”. Lebih lanjut kondisi ini dapat mengarahkan anak tersebut kepada perilaku negatif, seperti bersikap agresif, memicu pertengkaran, atau menggoda orang lain. Di sisi lain, anak yang dijadikan perbandingan sebagai sosok lebih “ideal” juga dapat merasa lebih serta kesulitan menghargai saudaranya.
Hal inilah yang terjadi pada Caca. Ia tidak pernah mendapatkan apresiasi ataupun perhatian saat ia menunjukkan hasil/perilaku yang positif, karena saudaranya akan tetap lebih baik di mata orang lain. Akhirnya cara yang ia pakai untuk mendapatkan perhatian adalah dengan membuat ulah. Baginya mendapat perhatian berupa omelan orang tua, masih lebih baik daripada tidak diperhatikan sama sekali. Sedangkan untuk Agus, ibunya pun melihat bahwa adiknya mulai menunjukkan sikap tidak hormat kepada kakaknya. Bahkan saat kakaknya berhasil melakukan sesuatu, adiknya dapat berkomentar “Ah kalau gitu aja aku juga bisa, bahkan aku bisa dapat lebih dari koko.”
2. Stress
Anak merasa tertekan jika ia terus-menerus dibandingkan dengan orang lain. Lebih lanjut, saat seorang anak merasa stres seringkali justru menimbulkan masalah yang baru. Contohnya saja si Budi, yang memang memiliki kondisi kesulitan belajar dan membutuhkan penanganan khusus, saat dibandingkan ia menjadi kehilangan motivasi belajar dan cemas saat menghadapi ujian.
3. Tidak Percaya Diri
Terus menerus dibandingkan dan dipandang sebagai sosok yang ”kurang”, baik dalam hal sifat (mis. Kurang inisiatif), kemampuan (misal prestasi akademis), ataupun perilaku (mis. nakal, tidak bisa diam) dapat membuat anak merasa orang lain lebih baik dari dirinya. Di sisi lain, apapun yang dia lakukan tidak pernah cukup untuk memenuhi harapan orang tuanya.
Kita melihatnya dari contoh kasus Mama Agus yang membandingkan Agus dengan adiknya. Di usia 19 tahun, Agus memang merasa tidak memiliki kelebihan apa-apa, sehingga dia seringkali lebih memilih untuk membiarkan adiknya untuk mengerjakan ini dan itu. Karena baginya, seperti apapun ia berusaha tidak akan pernah dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Bagaimana orang tua dapat memperbaiki kesalahan ini?
Tidak ada gading yang tak retak, setiap orang tua juga pernah melakukan kesalahan. Selagi kita masih dapat memperbaikinya, yuk supermom, kita lakukan ketiga hal ini:
- Mengingat bahwa tiap anak diciptakan istimewa oleh Tuhan.
Tiap anak diciptakan dengan pribadi yang berbeda. Kita perlu membantu anak untuk melihat keistimewaan yang ia miliki dan dapat ia gunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ia miliki. Anak-anak yang menjadi contoh di atas, ternyata juga memiliki kelebihannya masing-masing yang justru “tertutup” oleh kekurangan mereka yang menjadi fokus orang tua. Agus adalah anak yang patuh serta sopan, meskipun ia bukan tipe yang dapat berinisiatif, namun ia berusaha menyenangkan orang lain. Budi adalah anak yang memiliki kemampuan yang baik di bidang seni, khususnya dalam menggambar. Caca sebenarnya adalah anak yang berani dan saat diberi kesempatan untuk bertanggung jawab, ia akan menjalankannya dengan baik.
- Tetapkan harapan yang realistis sesuai dengan kondisi anak.
Tiap anak memiliki kemampuannya masing-masing, cara yang berbeda dalam belajar, beragam cita-cita yang ingin dicapai, dan kecepatan yang bervariasi dalam mencapai sesuatu. Menetapkan harapan yang baik tentu dimiliki oleh tiap orang tua. Namun saat harapan tersebut tidak sesuai dengan kondisi anak, justru akan menghambat anak untuk merasa percaya diri dan mencapai keberhasilan.
Orang tua Agus mengharapkan ia menjadi wirausahawan yang sukses seperti orang tuanya. Namun di satu sesi ibu Agus berkata: “Kalau memang dia lebih nyaman dengan menjadi karyawan yang berhasil di suatu perusahaan, saya akan berdoa supaya saya bisa menerimanya dan mendukung anak saya.”
- Menghargai usaha yang dilakukan anak untuk menjadi lebih baik.
Membandingkan anak berdasarkan karakteristik bawaan yang menetap tidak akan membantu anak. Misalnya saja terkait dengan kepandaian, keahlian, ataupun kondisi fisik. Kita bisa mendorong anak melalui hal-hal yang memang dapat ia tingkatkan. Sebagai contoh, menghargai usahanya untuk belajar meskipun hasilnya tidak sempurna, memuji kemauannya untuk membantu orang lain, memberi apresiasi saat ia mau berlatih dalam area yang sulit baginya.
Jadi mari kita lebih berhati-hati dalam membandingkan anak-anak kita, serta membantu mereka mengenali kelebihan yang mereka miliki dan menumbuhkan rasa percaya diri yang sehat, sehingga mereka lebih tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Athalia Sunaryo, M.Psi., Psi. Konselor di Lifespring & associate psychologist di beberapa lembaga psikologi.