Suami Bermasalah dengan Keluarga Besar, Harus Bagaimana?

Suami malas bersilahturahmi dengan keluarga besar baik dari pihak saya ataupun pihak dia. Tapi paling rajin silahturahmi sama teman-temannya mulai teman SD sampai teman kerja.

Saya sebenarnya tidak ada masalah kalau dia mau silahturahmi sama teman-temannya, cuma kadang ada rasa jengkel karena mendahulukan teman daripada keluarga besar.

Apa yang harus saya lakukan tuk mengubah kebiasaan itu?

 

Via Valentine (bukan nama sebenarnya)

Catatan: pertanyaan ini adalah pertanyaan yang diajukan pada KULWAP: “5 Tips Ampuh Mengubah Krisis Menjadi Kebahagiaan dlm Pernikahan” yang diselenggarakan berkat kerjasama YPKA (Yayasan Pusat Kemandirian Anak) dengan Pembelajar Hidup, diikuti 152 peserta dari seluruh Indonesia.

 

Baca juga: Apakah Mindset yang Benar dalam Suatu Pernikahan?

JAWAB: 

Pertanyaannya adalah apa yang menjadi penyebab suami kurang bersedia menjalin silaturahmi dengan keluarga besar? Ibu bisa menanyakan kepadanya dan mencoba memahaminya terlebih dahulu akar permasalahannya.

Mungkin ia pernah dikecewakan oleh kerabatnya. Mungkin juga ia merasa banyak orang di keluarga besar yang kurang baik, atau misalnya merasa terlalu banyak pergunjingan/gosip.

Waktu ibu bertanya, hati-hati untuk tidak menggunakan kata “mengapa”. Kata tanya “mengapa” terkadang bisa terasa menghakimi. Lebih baik ganti dengan memulainya dengan, “apa yang membuat….”. Contoh: daripada “Mengapa abang tidak mau bersilaturahmi dengan keluarga besar”, lebih baik menanyakan “Apa yang membuat abang kurang bersedia bersilaturahmi dengan keluarga besar?”

“Apa yang membuat..” lebih menanyakan suatu alasan di luar dari dirinya, lebih aman dan tidak menyerang pribadi.

Seringkali problem rumah tangga terjadi karena kita terbiasa menghakimi terlebih dahulu dari pada mengerti, mencoba memberikan saran dan tuntutan sebelum kita memahami. Kebiasaan ini harus kita ubah menjadi: cobalah sebelum kita memberi masukan atau mengkomentari suatu hal, tanyakan dulu dengan “apa yang membuat…” dan pahami dulu pikiran dan perasaannya, baru setelah itu kita beroleh hak untuk berpendapat.

Bagaimana pendapat Anda?