
Kenyataan pahit setelah pernikahan adalah sebaik-baiknya kita mengenal seseorang, sedalam-dalamnya hubungan kita dengan pasangan kita, tetap saja ada hal-hal yang mengecewakan setelah kita menikahinya.
Baca juga: Inilah Sebabnya Kenapa Tidak Kerja Bareng Pasangan (dan Cara Mengatasinya)
Saya bersahabat dengan istri saya sebelum kami pacaran, akhirnya kita pacaran dan menikah dalam kondisi yang sama-sama saling mengenal dengan mendalam. Peta cinta kami sangat baik, tabungan cinta juga banyak. Kami satu suku, satu agama, bahkan lingkungan kami sama, sehingga praktis tidak punya hambatan budaya sama sekali. Kami berdua pun punya visi dan prinsip hidup yang sama, seakan-akan kami sudah jodoh, match dan merasa saling menemukan potongan puzzle kami masing-masing.
Namun setelah menikah, saya menemukan bahwa istri saya adalah seorang impulsif yang tidak terlalu mengandalkan plan dan preparation. Ini sangat berlawanan dengan saya. Jangan salah paham, dia adalah seorang yang sangat bisa diandalkan, hanya saja dia tidak terbiasa dengan manajemen waktu. Dalam beberapa kejadian saya merasa kecewa dengan hal-hal yang terlewatkan, hal-hal yang ditunda sehingga akhirnya tidak terkerjakan.
Sebaliknya istri saya juga ternyata harus menghadapi sikap saya yang keras. Memang dulu waktu pacaran juga sudah tahu betapa tegasnya saya. Namun ia tidak menyangka ternyata saya begitu keras. Dia harus menghadapi nada-nada marah saya yang sebelumnya tidak pernah terjadi selama kami bersahabat dan berpacaran. Sebenarnya nada saya kalau dalam keluarga saya dulu belum terhitung marah seperti itu, hanyalah teguran. Namun ternyata ini pun bagi istri saya merasa sudah “dimarahi” terus-terusan. Ia tidak pernah mengalami hal tersebut dalam keluarganya dulu. Ia pun mengalami stres dan sempat merasa pernikahan ini berat.
Kami pun sempat mengalami kondisi di mana dalam rumah tangga kami seperti datar. Saya bahkan bisa tidak peka bahwa istri saya terkadang merasa takut kalau muka saya sudah menunjukkan ketidaksenangan. Saya tidak menyadari kalau istri saya terkadang tertekan oleh sikap saya.
Namun waktu saya mengikuti kelas-kelas konseling pernikahan, saya membuka banyak percakapan dari hati ke hati dengan istri saya. Dari sana barulah saya banyak mengetahui hal-hal yang selama ini dipendamnya. Ini bukan berarti dalam pernikahan kita tidak pernah ada deep talk. Kita tidak pernah kekurangan deep talk, namun ternyata ada hal-hal yang dipendam yang tidak berani dikeluarkan sebelumnya. Saat itulah kami banyak mengalami rekonsiliasi dan pernikahan kami semakin kuat. (Kami pun sekarang menyediakan pendidikan pernikahan yang komprehensif dan berdasarkan sains, informasi lebih lanjut klik tautan berikut: Marriage Academy)
Hal pahit lainnya adalah saat kita sudah punya anak. Sangat tidak mudah ternyata membesarkan seorang anak. Anak-anak kita akan menantang kedewasaan kita, dan menantang kesabaran kita. Mereka melakukan tindakan-tindakan yang terkadang menggoyang kenyamanan dan harga diri kita. Namun justru itulah yang menjadikan kita lebih dewasa dan menjadi manusia yang lebih baik. Dan ini hanya terjadi jika kita bersedia merendahkan diri dan mengatakan bahwa diri kita tidak sempurna, dan bersedia dibentuk melalui relasi dengan pasangan dan anak-anak kita.
Bicara tentang pil-pil pahit dalam pernikahan, tidak adil rasanya kalau kita hanya bicara yang jelek saja tapi tidak mempercakapkan tentang permen-permen manis dalam pernikahan. Kepahitan dalam pernikahan itu bukan seperti pahitnya paria, tetapi pahitnya coklat yang tatkala ditambahkan gula, rasanya sangat nikmat. Mak nyus!!
Hal-hal manis yang dialami dalam pernikahan antara lain:
- Melewati suka duka bersama pasangan. Kalau mengalami pengalaman yang menyenangkan, kita punya seseorang untuk menikmatinya bersama-sama. Sebaliknya saat-saat sulit, saat-saat menyedihkan, kehilangan seseorang, menghadapi kesulitan finansial, kita tidak sendirian. Kami melewati pantai yang indah maupun badai yang dashyat bersama-sama. Dan setiap hal, yang menyenangkan maupun yang buruk, saat sudah kita lewati akan menjadi kenangan yang indah.
- Menikmati rasanya mencintai dan dicintai dalam jangka panjang. Bukan hanya 1 – 2 tahun, tapi bahkan seumur hidup sampai maut menjemput. Saya bukan berasal dari keluarga yang terbiasa menunjukkan kasih sayang. Waktu kecil saya lebih merasa sendirian daripada dikasihi oleh orang tua. Namun kasih sayang istri saya membuat saya merasa bersyukur dapat menikmati seteguk suasana surga. “Oh, ini toh rasanya diperhatikan”, “Oh ini toh rasanya dipedulikan, dihormati dan dianggap penting.” Dan ini juga yang membantu saya untuk belajar mencintai istri dan anak-anak dengan standar yang sama. Lagi-lagi inilah yang membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dengan menikah.
Menikah tentu tidak mudah. Banyak duri-duri kekecewaan dan jurang-jurang penderitaan, namun tatkala kita mau berubah dan bekerja sama, duri-duri dan jurang-jurang itu akan terlihat sebagai lukisan pemandangan yang indah, buatan tangan dari Sang Pencipta. Ia ingin kita mereguk sedikit suasana surga melalui kasih sayang orang-orang yang kita cintai.

Marriage counselor, life coach, founder Pembelajar Hidup, penulis buku, narasumber berbagai media online, cetak dan TV.