Sebaiknya Semua Wanita Tidak Menikah dan Punya Anak!

wanita bahagia tanpa anak

Coach Deny Hen, bagaimana pendapat Anda tentang riset yang mengatakan: wanita lebih bahagia tanpa suami atau anak?

Jawab Coach Deny Hen: 

Saya pernah membaca headline sebuah artikel yang cukup membuat saya berpikir, katanya: “My Child is not My Calling” (anakku bukanlah panggilanku). Yang saya tangkap dari judul tersebut adalah kata-kata seorang ibu yang merasa begitu keberatan dalam mengurusi anaknya sampai-sampai ia merasa bahwa ‘saya tidak meminta anak ini’, atau ‘seharusnya aku sukses dalam karirku, menjadi ibu bukanlah panggilan saya’. Tentunya ia sangat tidak bahagia dengan keadaannya sebagai seorang ibu.

Baca juga: Komitmen Pernikahan Lebih Penting daripada Kebahagiaan Anda

Sejak pada mulanya, kebahagiaan tidaklah pernah bisa menjadi satu-satunya tolak ukur dan pedoman dalam perilaku manusia. Kebahagiaan yang manusia cari dapat bias, egosentrik, dan sementara.

Coba pikirkanlah suatu kondisi dilema seperti ini: Kebakaran melanda sebuah gedung bertingkat, dan semua orang sudah diselamatkan kecuali Anda dan seorang pria paruh baya yang tidak Anda kenal. Pemadam kebakaran masih sanggup menolong 1 orang lagi untuk terakhir kalinya, dan setelah itu gedung akan segera runtuh. Siapa pun yang tersisa, memang dapat dipastikan tetap hidup karena api sudah berhasil dipadamkan 80%, tetapi keruntuhan gedung akan membuatnya hidup dengan menanggung sengsara karena lumpuh dan luka bakar seumur hidupnya. Anda adalah seorang perempuan muda, 20 tahun, cantik dan menarik namun belum menikah. Apa yang akan Anda lakukan? Akankah Anda mempersilakan sang pria diselamatkan lebih dahulu?

dilema kebakaran

Tentu saja dari sisi Anda berpikir bahwa seharusnya pria paruh baya itu mempersilakan Anda untuk diselamatkan lebih dahulu daripada dirinya. Ladies first, bukan? Terbayang apa jadinya jika Anda yang masih muda dan cantik itu menjadi lumpuh dan wajah Anda penuh luka bakar. Bisa-bisa Anda akan melajang seumur hidup. Tetapi sialnya, sang pria juga ternyata ingin didahulukan diselamatkan. Anda berdua sama-sama menolak sengsara yang mengerikan dan merasa berhak untuk diprioritaskan kebahagiaannya. Akhirnya pemadam kebakaran memilih menyelamatkan Anda, dan sang pria yang dikorbankan.

Yang tidak Anda ketahui adalah alasan kenapa si pria paruh baya juga sama-sama ngekeuh ingin diselamatkan terlebih dulu. Ternyata ia adalah tulang punggung satu-satunya keluarga: seorang istri yang tidak bekerja dan ketiga anaknya yang masih di bawah 10 tahun, plus masih harus menanggung biaya pengobatan kedua orang tuanya yang sudah tua. Kelumpuhan yang dialami si pria, akhirnya berdampak kepada hancurnya keluarganya dan kematian kedua orang tuanya.

Dalam kasus di atas, pengejaran kebahagiaan (menghindari sengsara) Anda bias, egosentrik dan sementara. Tatkala Anda mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya, belum tentu Anda akan tenang-tenang saja menikmati hari-hari kemudian.

Penelitian boleh-boleh saja menemukan bahwa seorang wanita lebih bahagia untuk hidup tanpa menikah (dan tanpa anak). Tidak ada masalah dengan hal itu, selama para wanita (dan tentunya juga semua pria) menyadari bahwa makna hidupnya di dunia bukan ditentukan oleh apakah dirinya bahagia atau tidak. Karena jika itu yang jadi acuan, sebaiknya tidak ada wanita yang menikah dan tidak perlu merasa bersalah jika suatu hari suku bangsa kita atau bahkan manusia punah (seperti apa yang sedang terjadi di Jepang saat ini).

Ada masih banyak hal yang menjadi pertimbangan untuk menikah, selain kebahagiaan. Dan kalaupun Anda menjadi ‘kurang’ bahagia karena Anda menikah? So what? Nikmati saja susah senang keluarga Anda, setidaknya Anda memiliki legacy melalui keturunan, serta menikmati seteguk cinta bersama suami Anda!

     Psikologi hebat dalam menemukan sebab akibat perilaku manusia, tetapi psikologi tidak mampu memberikan arah dan tujuan hidup pada manusia.

Bagaimana pendapat Anda?