Menolong Suami Menjadi Pemimpin Rumah Tangga

ayah pemimpin rumah tangga

“Suamiku itu sulit mengambil keputusan!”

“Aku kan wanita ya Coach, kok aku lagi yang harus menuntun dia?”

“Suamiku itu kurang berjuang, maunya santai-santai aja, padahal aku bukan hanya ngurus anak dan suami, aku tuh kerja juga mati-matian. Karirku naik terus, sedangkan dia gitu terus, gak ada perubahan”

Pergumulan mengenai kepemimpinan dan dominasi merupakan salah satu konflik yang sehari-hari terjadi dalam banyak pasangan suami istri. Banyak istri merasa suaminya tidak bisa menjadi pemimpin keluarga, tidak bisa mengambil keputusan atau kurang ambisius sehingga penghasilannya kalah dengan istrinya.

Baca juga: Menyelesaikan Kebuntuan dalam Konflik Rumah Tangga

Ketidakmampuan suami untuk memimpin dapat disebabkan oleh beberapa sebab misalnya:

  • Tidak tahu cara memimpin. Mungkin ia tidak punya role model yang dapat ditirunya untuk menjadi pemimpin.
  • Tidah menyadari pentingnya kepemimpinan ayah di rumah. Mungkin ayahnya pun tidak memimpin keluarganya.
  • Suami yang memang malas atau kurang perduli.

 

Dalam hal-hal di atas sang suami memang perlu melakukan perubahan-perubahan agar ia bisa mulai memimpin keluarganya, misalnya melalui edukasi dan konseling, atau pendekatan spiritual. Namun ada kalanya walau sang suami tahu, menyadari dan perduli dengan kepemimpinan dalam rumah tangga, ia tetap gagal menjalankan fungsinya.

Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah karena kepemimpinan itu bukan hanya soal memenuhi suatu level standar kepemimpinan tertentu, tetapi soal siapa yang lebih mampu, lebih pandai, lebih berhasil dan lebih cepat mengambil keputusan di antara suami dan istri. Kepemimpinan suami selalu akan dibandingkan dengan istrinya. Ini bukan tentang suami bisa memimpin atau tidak, tetapi apakah kemampuan, kepandaian dan kebijaksanaan suami dalam memimpin lebih tinggi daripada istrinya. Dan saat kita bicara tentang kuasa, terkadang ini juga adalah tentang siapa yang mempunyai kemampuan finansial yang lebih tinggi di antara mereka.

Sebagian dari istri-istri (tentu saja tidak semuanya) yang memiliki kemampuan ini menuntut suaminya harus lebih hebat dari dirinya, mengkritik keputusan-keputusan suaminya yang dianggap lambat atau tidak bijaksana, atau menghakimi suaminya yang memiliki kinerja yang lebih rendah daripada dirinya. Akibatnya suaminya merasa tertekan. Sang suami marah karena direndahkan. Tak jarang suami mendapatkan ledakan amarah dari istri sampai-sampai ia takut mengambil keputusan. Ia menjadi lumpuh, tidak dapat melakukan apa-apa. Bagaimana ia bisa melakukan sesuatu kalau setiap upaya yang ia ingin lakukan seringkali mendapatkan kritik atau disalahkan. Hal ini membuat sang istri semakin menjadi-jadi, ia semakin menyalahkan ketidakmampuan suaminya. Dan suaminya pun semakin terpuruk, semakin gagal menjadi pemimpin. Mereka berdua telah masuk ke dalam lingkaran setan negatifitas. Keutuhan pernikahan pun jadi terancam.

Keluar dari Lingkaran Setan Konflik Pemimpin Rumah Tangga

Ada beberapa hal penting yang perlu benar-benar dihayati agar pasutri dapat keluar dari jerat lingkaran setan ini:

Pertama, pasutri perlu menyadari bahwa mereka berada dalam tim yang sama. Ini berarti keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan bersama, dan kegagalan satu orang juga merupakan kegagalan bersama. Saat anggota tim dianggap underperformed, yang diperlukan adalah kerjasama dan dukungan, bukan kritik dan tekanan.

Kedua, menekankan hal yang positif merupakan strategi yang jauh lebih efektif daripada menekankan pada hal yang negatif (kegagalan dan kesalahan). Lebih baik memuji keberhasilan daripada menyebutkan kesalahan. Lebih baik memberikan apresiasi daripada kritik. Kritik istri tidak akan membuat suami semakin rajin, tetapi penghargaan akan membuat kinerjanya semakin baik.

Ketiga, dalam hal nafkah, kenyataannya tidak selalu kita mampu menentukan penghasilan kita. Dalam pekerjaan dan usaha, selalu ada faktor hoki atau keberuntungan. Di sini kita berurusan dengan sesuatu yang ada di luar kita. Suami bisa berjuang, tapi tidak semua perjuangan selalu membuahkan hasil yang diinginkan.  Saya bertemu dengan suami-suami yang sudah bekerja siang malam dan mati-matian, tapi sang istri daripada menghargai usahanya, malah melihatnya sebagai orang yang work hard bukan work smart. Atau suami-suami yang benar-benar sudah maksimal dalam berupaya work hard dan work smart sekaligus, namun usahanya masih terus-menerus tidak mampu menyaingi penghasilan istrinya. Saat sang istri tidak sabar dan malah mencoba mengambil alih keputusan-keputusan bisnis/karir suaminya, tidak jarang hasilnya menjadi lebih buruk. Jadi sebaiknya kalaupun sang istri bisa memiliki penghasilan yang lebih, bersyukurlah karena itu adalah anugerah Tuhan. Berjuang tentu harus pantang mundur, tapi bersabarlah akan waktunya Tuhan untuk suami.

Keempat, pasutri perlu menyadari bahwa setiap orang memiliki harapan dan pertimbangan cost/benefit yang berbeda. Terkadang punya gaji sebagai seorang manajer yang mampu menyekolahkan anak hingga kuliah di kota sendiri sudah dianggap cukup bagi seseorang. Ia mungkin merasa upaya untuk meningkatkan penghasilan lebih banyak lagi akan mengorbankan waktu berkualitas dengan keluarga, atau mengorbankan hal lain sehingga merasa tidak layak untuk diupayakan. Karena itu dia stop di titik itu dan menjalani hidup yang terkesan “santai” dan tanpa ambisi. Kenyamanan suami dengan gajinya itu bisa terancam jika istrinya yang seorang entrepreneur mendesaknya untuk juga berwiraswasta misalnya. Dalam hal ini tidak ada kata benar atau salah. Apakah istrinya salah karena ambisi berlebihan atau apakah suaminya salah karena tidak berambisi? Sesungguhnya belum tentu salah satu dari mereka ada yang salah. Yang benar adalah suami-istri perlu duduk dan diskusi. Mereka harus menyampaikan harapannya masing-masing dengan asertif, kemudian saling menghargai pendapat dan memahami alasan masing-masing sehingga tidak ada saling menuntut satu dengan yang lain. Karena hubungan suami-istri yang sehat hanya dapat terjadi jika kita memperlakukan pasangan setara dengan kita, bukan dianggap lebih rendah.

golok naga

Saya sangat suka dengan filosofi yang terkandung dalam serial film silat yang saya tonton waktu saya kecil, yaitu kisah Golok Naga – To Liong To dengan Pedang Langit. Film ini bercerita tentang adanya Golok Naga yang konon sangat sakti sehingga pemiliknya akan menguasai dunia persilatan. Satu-satunya yang mampu menandingi golok yang sakti tersebut hanyalah Pedang Langit. Plot twist dari cerita ini adalah sebenarnya rahasia kesaktian Golok Naga dan Pedang Langit, bukan terletak pada pedang/golok itu sendiri, melainkan terletak pada apa yang terkandung di dalamnya. Di dalam pedang/golok itu ternyata tersimpan kitab ilmu silat terhebat dan kitab strategi perang yang tidak tertandingi yang memungkinkan pemiliknya mampu menguasai dunia.  Isi dari pedang/golok itu yang penting, bukan pedang dan goloknya. Yang menarik adalah untuk mendapatkan kitab-kitab sakti tersebut, pedang dan golok sama-sama dibutuhkan dan harus saling dipertemukan sehingga pedang dan goloknya patah dan di dalamnya muncul kitab-kitab sakti tadi.

Bapak/ibu yang saya kasihi, seperti Golok Naga dan Pedang Langit, suami dan istri keduanya sebenarnya setara. Suami seperti Golok Naga, istri sebagai Pedang Langit. Bapak sendiri atau ibu sendiri mungkin sudah hebat, tapi rahasia keberhasilan suatu keluarga tidaklah terletak dari suami sendiri atau pun istri sendiri, tetapi terletak pada ketika keduanya bisa saling bekerja sama. Karena ketika suami istri mampu bekerja sama, barulah ada sesuatu yang luar biasa akan muncul dari Anda berdua. Saya Deny Hen, salam Pembelajar!

 

Bagaimana pendapat Anda?