Balada Kisah Pernikahan Muda Modal Niat & Iman

nikah muda

Pernikahan itu tidak pernah mudah. Bukan hari H nya yang tidak mudah, justru kehidupan setelah hari H pernikahan itu yang jauh lebih sulit daripada mengurus hari H. Menikah tanpa persiapan finansial (nanti setelah nikah makan apa), karakter (apakah sudah cukup mature), dan pikiran (pengetahuan dan skill mengenai bagaimana berjuang untuk pernikahan yang sehat), itu sama seperti orang yang dicemplungkan ke laut tanpa bisa berenang tanpa diberi pelampung.

Karena itu pengalaman dari seorang quorawan ini sangat penting untuk disimak, khususnya bagi Anda yang akan menikah. Kisah ini sudah di-like oleh tiga ribu orang lebih. Anda bisa membaca tulisan aslinya di https://id.quora.com/Apakah-Indonesia-menjadi-semakin-konservatif-Apa-peristiwa-dan-perilaku-yang-menunjukkan-hal-tersebut/answers/192392877  Penulisnya anonim.

Baca juga: 4 Alasan Mengapa Konseling Pranikah itu Penting

 

Maaf sebelumnya saya harus menjawab anonim untuk menghormati teman kantor saya dan untuk menjaga keamanan diri saya karena saya adalah minoritas di kantor saya. Saya ingin menceritakan mengenai rekan kantor saya yang menikah muda sekaligus mengingatkan bahwa menikah muda tidak menjadi jaminan anda akan bahagia.

Di zaman dahulu, orang usia belasan tahun sudah menikah adalah hal biasa. Beberapa tahun yang lalu, usia pernikahan orang pada umumnya adalah sekitar usia 23–27 tahun, tetapi yang membuat saya bingung adalah akhir-akhir ini usia pernikahan kembali muda seperti pada zaman dahulu.

Jadi, saya memiliki bawahan di kantor, dia adalah laki-laki, sebut saja namanya Soleh. Soleh masih berusia sangat muda, baru 23 tahun. Soleh berasal dari keluarga sederhana yang tinggal di Jawa Barat. Ia merupakan fresh graduate yang baru saja mendapat pekerjaan di kantor ini setahun setelah kelulusannya. Sebagai atasan, sebenarnya saya mengetahui besaran gaji karyawan entry level di divisi saya seperti dia. Setelah 3 bulan bekerja di sini, pada suatu pagi ia mengirimkan undangan melalui e-mail kepada saya. Rupanya, ia mengirimkan undangan pernikahan. Saya awalnya turut bahagia mendengar kabar ini, akan tetapi saya kemudian kaget mendengar penjelasannya:

  1. Calon istrinya berusia sangat muda, yaitu baru 18 tahun dan baru lulus SMA
  2. Calon istrinya tidak memiliki pekerjaan apa-apa dan (mohon maaf) berasal dari keluarga menengah ke bawah
  3. Soleh dan calon istrinya tidak sering bertemu sebelumnya. Mereka saling mengenal melalui apa yang disebut dengan “taaruf” dengan saling berkirim CV. Menurut teman-teman kerja lainnya, Soleh sendiri belum mengenai karakter, (sebut saja) Indah, calon istrinya. Soleh dan Indah baru saling mengenal selama 2 bulan
  4. Alasan Soleh memilih Indah adalah kesamaan manhaj (saya tidak tahu ini apa)
  5. Saat saya menanyakan lokasi rumah Indah, di mana pernikahan akan berlangsung, Soleh hanya senyum simpul dan mengatakan bahwa Soleh tidak tahu lokasi pastinya
  6. Ia meminjam sejumlah besar uang dari kantor untuk pernikahannya

 

Akhirnya saya datang ke pernikahan mereka, dengan menumpang mobil kolega lainnya, karena saya tidak tahu jalan. Pesta pernikahan berlangsung sederhana, meski ada hal yang membuat saya rikuh.

Setelah menikah saya kadang mendengar percakapan aneh Soleh dengan rekan kerja lain mengenai istrinya. Soleh berkata bahwa ia “kecewa” dengan penampilan fisik Indah. Soleh tadinya mengira Indah memiliki fisik seperti Lita (karyawan lain), karena BMI nya sama. Saya juga kaget ketika Soleh membicarakan hal vulgar terkait istrinya itu.

Saat ini, pernikahan mereka telah berjalan 7 bulan. Indah, saat ini sudah positif mengandung 2 bulan. Saya turut senang mendengarnya. Akan tetapi, Soleh menjadi aneh setelah istrinya dinyatakan mengandung. Soleh menjadi sering bolos bekerja, bahkan hingga lewat 3 hari. Setelah saya tanyakan, ternyata istri Soleh melarang Soleh bekerja karena ia merasa kesepian dan ia juga merasa cemburu. Belum lagi, Indah merasa bahwa bos nya Soleh (saya) adalah kafir, yang dapat mempengaruhi keimanannya.

Teman kantor yang sudah memiliki anak menyarankan istrinya agar mengikuti kursus agar tidak kesepian ada juga yang menyarankan istrinya untuk bisnis kecil-kecilan, agar ia tidak kesepian dan stress, yang bisa memicu baby blues. Lagi-lagi ia menolak saran teman kantor dengan alasan perempuan tidak selayaknya bekerja dan harus tetap berada di rumah. Mengenai baby blues, ia juga mengatakan bahwa baby blues hanya dialami oleh perempuan yang tidak beriman.

Saya sebenarnya merasa sakit hati tetapi mencoba untuk bersikap profesional. Kejadian lain yang membuat saya hanya mengelus dada adalah ketika Soleh mendatangi salah satu teman kantor untuk meminjam uang. Katanya, uang gajinya selalu habis untuk membiayai keluarga istrinya.

Akhirnya, saya katakan. Menikah itu bukan perkara mudah. Perlu persiapan mental dan finansial yang mencukupi.

Kepada orang-orang pendukung gerakan ini:

Kalian hendaknya menganjurkan mereka juga untuk mempersiapkan diri secara finansial dan mental. Karena menikah tidak cukup bermodal niat dan cinta.

–000–

Note C. Deny Hen: Menikah taaruf atau tidak, tentu dijalankan sesuai dengan iman percaya masing-masing. Namun demikian baik pernikahan taaruf maupun tidak, tidak bisa hanya bermodalkan niat dan iman saja, perlu banyak persiapan finansial, karakter dan pikiran. Saya tidak mencoba mengatakan bahwa Anda perlu memiliki harta yang memadai dulu untuk bisa menikah, karena kalau demikian hanya orang kaya yang bisa menikah. Namun tetap saja Anda perlu merencanakan dan mempersiapkan bagaimana Anda berdua nantinya akan hidup mandiri: terpisah dari orang tua dan memiliki keturunan. Dengan demikian, barulah Anda menjadi seorang yang mempertanggungjawabkan imannya secara penuh dan menjadi berkah bagi negara, agama dan keluarga.

Bagaimana pendapat Anda?