Bagaimana Pertengkaran Dapat Membantu Hubungan?

konflik rumah tangga

“Konflik tidak perlu dihindari tapi pilih konflik dengan bijaksana” itu adalah yang selalu saya kemukakan dalam kelas pernikahan saya.

Sebenarnya bukan semua konflik yang mengancam pernikahan kita, bahkan konflik yang tidak punya solusi pun tidak merusak kalau pasangan sudah memiliki hubungan yang kokoh. Dr. John Gottman, pakar pernikahan menemukan bahwa 69% konflik itu tidak pernah bisa terselesaikan. Tapi sekali lagi, ini tidak ada hubungannya dengan apakah pasangan yang mengalaminya akan bercerai atau tidak.

Baca juga: Apa solusi terbaik untuk menghentikan pertengkaran dengan pasangan hidup?

Ketiadaan konflik dapat berbahaya, terutama jika sebenarnya hal itu merupakan kemarahan yang tertahan, atau ketidakpedulian atau sikap defensif yang semata-mata tidak ingin dilukai oleh pasangan akibat sudah terbentuknya tembok emosi. (Baca: Belajar dari Kasus Perceraian Ahok – Vero, Inilah 4 Tanda Kiamat Pernikahan yang Harus Diwaspadai untuk penjelasan mengenai tembok emosi)

Konflik justru dapat sangat membantu Anda dan pasangan untuk bertumbuh menjadi lebih baik bagi diri Anda sendiri dan bagi pasangan Anda. Artinya konflik membuat Anda berdua dewasa dan bisa menjalani pernikahan dengan lebih baik sebagai hasilnya.

Mari kita lihat contoh pertengkaran klasik yang sering terjadi, dan lebih sering mencuat lagi akibat WFH dan PSBB ini: bertengkar karena meminta suami mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Konflik ini menjadi buruk kalau:

  1. Sang istri terus menuntut suami melakukan bagiannya 50%-50% karena ia juga bekerja (kondisi tidak ada asisten rumah tangga akibat covid)
  2. Sang suami juga tidak mau turun tangan karena berbagai alasan
  3. Sang istri mulai mengancam suami karena tidak terima dengan kondisi ini, mulai berhenti memberikan kebutuhan-kebutuhan emosional sang suami, mulai curcol kepada teman kantornya yang pria tentang kondisi ini (resiko perselingkuhan).
  4. Istri tidak pernah lagi meminta tolong sehingga tidak terjadi konflik terbuka, namun di hatinya masih menyimpan perasaan tidak menerima.
  5. Kadang jika terpicu konflik di masalah lain, istri akan mengungkit-ungkit masalah alpa-nya suami mengerjakan pekerjaan rumah tangga
  6. Keduanya tidak saling memaafkan dan suasana rumah tangga menjadi dingin

 

Tapi konflik yang sama bisa menjadi titik balik masing-masing untuk berubah dan untuk mengusahakan pernikahan yang lebih baik, jika

  1. Konflik terbuka tetap terjadi, suami dan istri saling berdiam diri karena kesal seorang dengan yang lain.
  2. Sang istri mengajak sang suami duduk bersama dan saling mengungkapkan perasaan kesal mereka, dan kesulitan mereka masing-masing tentang mengerjakan pekerjaan rumah tangga
  3. Kedua pihak saling mendengarkan dan berusaha memahami dan berempati dengan kesulitan pasangannya, tanpa menghakimi.
  4. Suami jadi memahami betapa berat beban dan pengorbanan sang istri yang harus bangun subuh dan tidur paling malam. Karena ia sayang padanya ia juga bersedia berkorban untuknya.
  5. Ternyata sang suami punya pengalaman masa kecil yang kurang diperhatikan, sehingga waktu ia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu ia merasa sama seperti waktu ia dulu tidak diperdulikan dan tidak diurus oleh ibunya. Di sini sang istri jadi memahami dan berusaha untuk memberikan yang terbaik agar sang suami bisa merasa diperhatikan dan terpelihara dengan baik.

 

Dalam contoh ini, sang suami belajar untuk mengatasi pengalaman pahit masa kecilnya demi istri yang dikasihinya. Dia mengalami perubahan sedikit demi sedikit mengalahkan egonya yang mana akan mendewasakan dirinya. Sang istri pun belajar untuk tidak menganggap suaminya sebagai pemalas dan menghargai kisah hidup sang suami untuk lebih memperhatikan dan lebih mengasihinya sekalipun ia sendiri kadang merasa letih akibat beban pekerjaan yang cukup banyak.

Waktu pasangan ini belajar mendengarkan tanpa menghakimi, belajar empati dan belajar berkorban untuk pasangannya, mereka sedikit demi sedikit naik kelas, memiliki karakter lebih baik dan satu langkah lebih maju dalam memiliki pernikahan yang sehat dan bahagia. Tentu hal ini tidak terjadi dalam satu hari, perlu pendidikan, latihan dan upaya yang terus-menerus untuk berhasil. Kadang perlu juga konseling untuk membongkar luka-luka di masa lalunya.

Itulah sebabnya saya menuliskan dalam buku saya, “The Great Marriage” bahwa kita harus menyadari bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah transformasi diri ke arah yang lebih baik melalui interaksi dalam hidup bersama dengan orang yang berbeda dengan diri kita.

Bagaimana pendapat Anda?