4 Alasan Menikah yang Kurang Bijaksana

salah menikah

Saya menolak menyebutkan 4 alasan di bawah ini sebagai alasan yang konyol untuk menikah. Saya lebih suka menyebutnya motivasi-motivasi yang kurang bijak untuk dijadikan alasan pernikahan. Karena kalau kita mengatakan “konyol” kita sudah merendahkan dan menghakimi orang lain. Padahal saya yakin kita semua selalu punya alasan yang kita pikir sangat tepat untuk melakukan sesuatu (termasuk menikah), walaupun itu adalah hasil distorsi pikiran, namun keputusan untuk menikah yang sudah terlanjur harus diberikan empati, bukan penghakiman.

Baca juga: Sebaiknya Semua Wanita Tidak Menikah dan Punya Anak!

Berikut adalah alasan menikah yang kurang bijak yang terpikirkan oleh saya:

1. Ingin secepatnya lepas dari orang tua.

Mereka merasa tersiksa dan tertekan oleh orang tua mereka, sehingga mereka kurang mempertimbangkan dengan mendalam calon pasangan hidup mereka. Akibatnya siklus penderitaan yang sama akan terulang dalam rumah tangga mereka yang baru.

2. Kasihan.

Sang pria atau wanita sebenarnya sudah merasa tidak cocok dengan calonnya, tetapi ia merasa kasihan karena calonnya ini adalah orang yang baik, dan serius dengan cintanya. Maka mereka pun menikah. Kalau setelah menikah sang wanita dan pria sama-sama saling memberi kebutuhan emosional mereka, ini tidak menjadi masalah dan rasa cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Masalahnya wanita seringkali diperlakukan bak putri raja ketika pacaran dan seperti pembantu ketika sudah menikah. Rasa kasihan yang dulu ada, kini lenyap, berubah menjadi kebencian.

menikah karena kasihan

3. Karena orang tua.

Jaman dulu hal ini tidak menjadi masalah karena orang tua kita belum hidup di jaman modern yang mana setiap orang, pria maupun wanita punya kemerdekaan yang luas dan akses kepada berbagai informasi. Tetapi hal yang dulu berhasil, belum tentu berhasil dilakukan masa kini. Orang jaman dulu relatif lebih nrimo dan lebih bisa hidup dalam ketidanyamanan daripada orang masa kini.

Selain itu, memang pendapat orang tua di satu pihak cenderung bijak karena sudah makan asam garam, tetapi jangan lupa orang tua juga manusia yang tidak sempurna dan punya kepentingan. Dan kepentingan itu tidak selalu menguntungkan bagi pasangan yang menikah.

Masalahnya pernikahan juga adalah masalah hati (cinta). Karena pernikahan menuntut kita membuka diri kita hingga yang paling dalam, bukan hanya baju kita, tetapi juga pribadi kita, pemikiran kita, kebiasaan-kebiasaan kita sehingga dibutuhkan kekuatan cinta yang besar untuk bisa menerima segala perbedaan dan kekurangan pasangan kita. Hal ini cenderung sulit kita terima kalau pasangan kita adalah pilihan orang lain.

4. Karena pilihan Tuhan.

Khusus untuk poin keempat ini saya hanya tujukan bagi pemeluk agama Kristen yang saya pahami, karena untuk agama lain saya tidak begitu paham.

Saya punya seorang teman yang menikahi teman komselnya hanya karena pak pendeta mengatakan Tuhan ingin mereka menikah. Padahal dalam berbagai kesempatan saya diminta berbicara kepada kaum muda tentang LSD (Love, Sex and Dating), saya sering bercanda kalau kita jangan sekali-kali minta tanda pada Tuhan tentang “siapakah jodohku?” misalnya dengan cara, “Tuhan, orang yang pertama kali muncul di kebaktian adalah jodohku”. Karena bisa saja yang datang pertama kali muncul adalah seorang nenek perawan.

Terus terang saya sangat meragukan kalau ada orang yang mengatakan bahwa mereka mendengar suara Tuhan berkata “A adalah jodoh B”, bahkan jika yang mengatakan adalah pendeta besar sekalipun.

Alkitab mengatakan bahwa kita harus menguji setiap roh, dan kalau kita menelusuri Alkitab, Allah berfirman selalu dalam kaitannya dengan diri-Nya. Ia tidak pernah berfirman untuk sesuatu yang sekedar kepentingan seseorang saja (misalnya jodoh, mobil, rumah, dll) tanpa ada kaitannya dengan rencana agung-Nya.

Siapa pasangan hidup kita adalah tanggung jawab kita masing-masing. Tuhan membantu kita dan menuntun kita, mempertemukan kita pada banyak lawan jenis, tetapi kitalah yang punya tanggung jawab untuk memilih. Salah memilih artinya harus bertanggung jawab dengan pilihannya sendiri, bukan melemparkan tanggung jawab pada Tuhan.

menikah di gereja

Perlu saya menjelaskan posisi saya, bahwa saya tidak menyetujui perceraian. Karena itu semangat Pembelajar Hidup selalu adalah memperbaiki pernikahan yang dingin, pernikahan yang berantakan menjadi pernikahan yang hebat, yang dijalani dengan sehat dan bahagia. Karena itu tugas kami adalah menolong para pasutri, termasuk yang merasa telah salah mengambil keputusan untuk menikah. Kesalahan itu bukan hanya Anda yang melakukannya. Dan pilihan yang dapat Anda jalani bukan hanya ada 2 pilihan:

A. Akhir dari rumah tangga Anda, yang mana Anda berpikir Anda bisa kembali meraih hidup Anda, atau

B. Akhir dari kehidupan bahagia Anda, yang mana Anda berpikir Anda bisa melanjutkan pernikahan itu tapi dengan penderitaan dan pengorbanan diri Anda hingga Anda tua.

Selalu ada pilihan ketiga C, yaitu Anda melanjutkan pernikahan Anda, dan bersama pasangan Anda, Anda berjuang untuk akhirnya bisa memperoleh pernikahan yang hebat yang dinikmati berdua.

Kontak kami jika Anda merasa membutuhkan bantuan dalam pernikahan Anda.

Bagaimana pendapat Anda?